Sabtu, 29 Oktober 2011

Perkembangan Jaringan Telekomunikasi di pulau jawa khususnya daerah yogyakarta

http://www.ziddu.com/download/17068280/TugasPancasila.rar.html
silakahkan di download

Penguat Operasional Op-Amp

Penguat Operasional (Operational Amplifier – Op Amp) adalah sebuah penguat instan yang bisa langsung dipakai untuk benyak aplikasi penguatan. Sebuah Op amp biasanya berupa IC (Integrated Circuit). Pengemasan Op amp dalam IC bermacam-macam, ada yang berisi satu op amp (contoh : 741), dua op amp (4558, LF356), empat op amp (contoh = LM324, TL084), dll.

Simbol Op amp
Simbol Op amp
Penguat Operasional tersusun dari beberapa rangkaian penguat yang menggunakan transistor atau FET. Biasanya membuat penguat dari op amp lebih mudah dibandingkan membuat penguat dari transistor karena tidak memerlukan perhitungan titik kerja, bias, dll.
Kelebihan penguat operasional (op amp):
  1. Impedansi input yang tinggi sehingga tidak membebani penguat sebelumnya.
  2. Impedansi output yang rendah sehingga tetap stabil walau dibebani oleh rangkaian selanjutnya.
  3. Lebar pita (bandwidth) yang lebar sehingga dapat dipakai pada semua jalur frekuensi audio (woofer, midle, dan tweeter)
  4. Adanya fasilitas offset null sehingga memudahkan pengaturan bias penguat agar tepat dititik tengah sinyal.
Bagian-bagian dalam Op amp :
  1. Penguat Differensial, yaitu merupakan bagian input dari Op amp. penguat differensial mempunyai dua input (input + dan input -)
  2. Penguat Penyangga (Buffer), yaitu penguat penyangga sinyal output dari penguat differensial agar siap untuk dimasukkan ke penguat akhir op amp.
  3. Pengatur Bias, yaitu rangkian pengatur bias dari penguat differensial dan buffer agar diperoleh kestabilan titik nol pada output penguat akhir
  4. Penguat Akhir, yaitu penguat yang merupakan bagian output dari Op amp. Penguat Akhir ini biasanya menggunakan konfigurasi push-pull kelas B atau kelas AB.
Penggunakan penguat operasional:
1. Pembanding (Comparator)
Comparator adalah penggunaan op amp sebagai pembanding antara tegangan yang masuk pada input (+) dan input (-).
Comparator
Comparator
Jika input (+) lebih tinggi dari input (-) maka op amp akan mengeluarkan tegangan positif dan jika input (-) lebih tinggi dari input (+) maka op amp akan mengeluarkan tegangan negatif. Dengan demikian op amp dapat dipakai untuk membandingkan dua buah tegangan yang berbeda.
2. Penguat Pembalik (Inverting)
Penguat Pembalik
Penguat Pembalik
Penguat pembalik adalah penggunanan op amp sebagai penguat sinyal dimana sinyal outputnya berbalik fasa 180 derajat dari sinyal input.
3. Penguat tidak membalik (Non Inverting)
Penguat tidak membalik
Penguat tidak membalik
Penguat tidak membalik adalah penggunanan op amp sebagai penguat sinyal dimana sinyal outputnya sefasa dengan  sinyal input.
4. Penguat differensial
Penguat Diferensial
Penguat Diferensial
Penguat differensial adalah penggunaan op amp untuk mencari selisih antara dua buah titik tegangan yang berbeda.
5. Penguat penjumlah (Summing Amplifier)
Penguat Penjumlah
Penguat Penjumlah
Penguat penjumlah berfungsi menjumlahkan level masing masing sinyal input yang masuk ke op amp. Penggunanan op amp sebagai penjumlah sering dijumpai pada rangkaian mixer audio.
6. Integrator (atau LPF)
Integrator
Integrator
Integrator berfungsi mengintegralkan  tagangan input terhadap waktu. Penggunanan integrator juga sebagai tapis lulus bawah (Low Pass Filter)
7. Differensiator (atau HPF)
Diferensiator
Diferensiator
Differensiator berfungsi mendiferensialkan tagangan input terhadap waktu. Penggunanan diferensiator juga sebagai tapis lulus atas (High Pass Filter)

Selasa, 25 Oktober 2011

PERBEDAAN ANTARA MAHASISWA DENGAN SISWA

Beda Antara Belajar Di Sekolah Dan Di Perguruan Tinggi





        Belajar di perguruan tinggi itu sangat berbeda dari belajar di sekolah menengah.  Karena perbedaannya itu, banyak mahasiswa yang merasa kesulitan untuk menyesuaikan cara belajanya di perguruan tinggi.  Mereka menggunakan strategi belajar yang telah mereka gunakan secara berhasil di sekolah menengah, namun mereka kecewa karena ternyata, di perguruan tinggi, hasilnya tidak sebagus ketika mereka di sekolah menengah.  Banyak mahasiswa yang terpaksa berhenti kuliah (drop-out) di tahun pertama karena kesulitan menyesuaikan diri ini.


         Berikut ini adalah beberapa perbedaan penting antara belajar di sekolah menengah dan di perguruan tinggi yang dapat membuat penyesuaian diri di perguuan tinggi itu sulit.  Dengan mengetahui perbedaan itu, Anda akan dapat memilih strategi belajar yang tepat untuk mengatasi perbedaan tersebut.

  1. Di sekolah menengah, siswa biasanya bersifat lebih pasif, sementara guru yang lebih aktif.  Siswa lebih banyak berperan sebagai penerima ilmu pengetahuan, sementara guru dianggap sebagai pemberi ilmu pengetahuan.  Di perguuan tinggi, dosen lebih banyak mengharapkan mahasiswa aktif dalam mencari ilmu pengetahuan, sementara ia berfungsi sebagai fasilitator yang membantu mahasiswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah disepakati.  Sumber informasi tentang ilmu yang dipelajari juga beragam dan itu disediakan di perpustakan.  Di perguruan tinggi yang besar, jumlah buku di perpustakaan ini bisa banyak sekali dan beragam, apalagi kalau ditambah dengan informasi yang ada di internet.  Oleh karena itu, untuk mengatasi perbedaan situasi seperti ini, Anda perlu mengubah cara belajar Anda dari yang semula pasif menjadi aktif, dari yang semula sebagai penerima ilmu menjadi pencari ilmu.  Andalah yang harus berinisiatif untuk mempelajari ilmu itu (melalui membaca buku dan artikel) dan manfaatkan dosen Anda sebagai tempat bertanya dan meminta penjelasan.  
  2. Tugas akademik di pergurtuan tinggi itu lebih sulit daripada tugas akademik di sekolah menengah.  Di sekolah menangah, siswa biasanya hanya diminta untuk merangkum isi sebagian buku atau mengerjakan latihan yang ada di dalam buku teks.  Di perguruan tinggi, Anda diminta untuk berfikir dalam tataran yang lebih tinggi, menganalisa suatu persoalan dan menuliskan analisa tersebut dalam bentuk  makalah.   Ini berarti Anda akan harus bekerja lebih keras dan lebih lama.  Siswa sekolah menengah biasanya belajar selama 2 sampai 3 jam setiap minggu untuk setiap mata pelajaran.  Di perguruan tinggi, untuk setiap mata kuliah, Anda mungkin akan perlu belajar 2 atau 3 untuk setiap jam kuliah.  Artinya, kalau Anda mengambil matakuliah yang bobotnya 2 sks dan masuk kuliah selama 90 menit (satu setengah jam), maka Anda mungkin perlu belajar untuk mata kuliah itu selama 180 atau 279 menit setiap minggu.  Bersiaplah untuk menyediakan waktu sejumlah itu sebagai komitmen belajar Anda di perguruan tinggi.
  3. Di sekolah menengah, Anda diwajibkan untuk menghadiri setiap pelajaran.  Di perguruan tinggi, hal ini sering kali tidak berlaku.  Banyak dosen di perguruan tinggi yang tidak mengabsen mahasiswanya.  Mereka tampaknya tidak begitu peduli apakah Anda hadir di ruang kuliah atau tidak.  Mungkin yang penting bagi mereka adalah apakah Anda dapat memenuhi standar kompetensi yang telah mereka tetapkan untuk matakuliah tersebut (ini biasanya diukur berdasarkan hasil ujian atau nilai tugas yang diberikan kepada Adna).  Di perguruan tinggi, Anda akan mudah sekalil menemukan hal-hal yang lebih menarik bagi Anda daripada mengikuti kuliah.  Tapi jangan menyerah pada godaan itu.  Mahasiswa yang menghadiri dan berpartisipasi di ruang kuliah secara teratu memperoleh nilai yang lebih tinggi daripada mereka yang jarang masuk.  Usahakan untuk selalu menghadiri kuliah.
  4. Di sekolah menengah, guru seringkali memeriksa apakah Anda mengerjakan tugas yang harus Anda kerjakan di rumah, seperti membaca, mengerjakan latihan, dsb.  Dengan demikian Anda merasa terdorong untuk belajar di rumah sehingga, ketika menghadapi ujian, Anda merasa lebih siap.  Di perguruan tinggi, Anda harus menjadi pembelajar yang mandiri.    Banyak dosen yang tidak mau memeriksa apakah Anda belajar di rumah atau tidak.  Mereka mengharapkan Anda melakukan hal itu tanpa harus didorong-dorong.  Dosen menganggap Anda sudah dewasa dan Anda sendirilah yang ingin berhasil di perguruan tinggi.   Oleh karena itu, Anda harus dapat memotivasi diri Anda sendiri untuk belajar.  Anda harus mempunyai target atau tujuan jelas yang ingin Anda capai di perguruan tinggi.  
  5. Pelajaran di sekolah menengah biasanya diberikan setiap hari dengan jadwal yang sudah ditetapkan.  Siswa tidak mempunyai pilihan lain dan tinggal mengikuti apa yang telah ditetapkan sekolah.  Di perguruan tinggi, di setiap awal semester, mahasiswa harus menyusun program pendidikan yang ingin mereka ikuti dalam semester itu. Anda mempunyai pilihan untuk mengambil mata kuliah tertentu atau tidak.  Jadwal kuliah Anda di perguruan tinggi akan lebih rersebar jika dibandingkan dengan jadwal pelajaran Anda di sekolah menengah.    Kuliah di perguruan tinggi di Indonesia biasanya diberikan sekali seminggu (untuk yang 2 sks), kadang-kadang ada yang 2 kali seminggu (untuk yang lebih dari 2 sks).  Oleh karena itu, penting sekali Anda mengatur waktu belajar Anda di antara kuliah-kuliah itu.  Anda perlu sekali membuat rencana atau jadwal belajar dan mentaatinya.  Usahakan untuk tidak mengambil dua matakuliah yang jadwalnya berurutan sehingga Anda mempunyai waktu untuk menata catatan kuliah Anda segera sesudah kuliah itu selesai (karena Anda tidak terburu-buru mengikuti kuliah yang lain).  Catatan kuliah yang terorganisir rapi akan sangat membantu ketika Anda mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nanti.
  6. Tes atau ujian di sekolah menengah diberikan cukup sering dan meliputi sejumlah kecil informasi/materi pelajaran.  Ujian atau tes di perguruan tinggi lebih jarang diberikan dan mencakup materi/infomasi yang lebih banyak.  Umumnya ujian diberikan dua kali, di tengah semester dan di akhir semester.  Tetapi ada juga dosen yang hanya memberikan sekali, di akhir semester saja. Anda akan beruntung kalau ada dosen yang memberikan lebih dari dua kali ujian, karena itu akan membuat Anda menjadi lebih siap menghadapi ujian akhir semester.  Ujian ulangan jarang diberikan di perguuan tinggi, dan Anda buasanya tidak dapat meningkatkan nilai rendah yang Anda peroleh dengan melakukan tugas tambahan.  Untuk berhasil dalam ujian di perguruan tinggi, Anda harus membuat catatan dari dalam kelas dan dari buku teks Anda.  Anda juga perlu memiliki strategi yang baik untuk menghadapi ujian.  Karena jarangnya ujian/tes diberikan dan tidak adanya dosen yang mengejar-ngejar Anda untuk belajar, mungkin saja Anda akan terlena, merasa lebih santai.  Namun, tiba-tiba Anda menyadari bahwa waktu ujian sudah dekat sementara Anda merasa belum siap karena belum banyak mempelajari materi ujian itu.
        Perguruan tinggi bukanlah sekedar kelanjutan sekolah menengah.  Perguruan tinggi adalah pengalaman baru yang menuntut Anda untuk menggunakan cara-cara baru sejak hari pertama agar berhasil di perguuan tinggi.  Jangan belajar di perguuan tinggi dengan menggunakan teknik belajar di sekolah menengah.  Akan lebih baik kalau Anda belajar di sekolah menengah dengan menggunakan cara belajar di perguruan tinggi.  Hitung-hitung sebagai persiapan untuk belajar di perguruan tinggi.


l

Murid, Siswa, dan Mahasiswa



Ketiga kata di atas sering kita dengar dalam percakapan kita sehari-hari. Namun dalam penempatannya terkadang kita masih salah menempatkannya. Padahal jelas sekali perbedaan antara murid, siswa, dan mahasiswa. Saya jadi teringat ucapan Prof. Dr. Ana Suhaenah Soeparno, mantan Rektor IKIP (Sekarang UNJ). Beliau pernah mengatakan dalam sebuah seminar di perpustakaan UNJ, bahwa ada perbedaan yang paling prinsip antara murid, siswa, dan mahasiswa. Murid dan siswa berada di sekolah, sedangkan mahasiswa berada di perguruan tinggi. Murid adalah peserta didik yang bersekolah di sekolah TK dan SD. Jadi anak TK dan anak SD berhak disebut murid TK dan murid SD. Sedangkan Siswa adalah peserta didik yang bersekolah di jalur pendidikan SMP/SMA/SMK. Mereka berhak disebut siswa SMP/SMA/SMK. Lalu bagaimana dengan mahasiswa? Mahasiswa adalah peserta didik yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Ketika siswa SMA/SMk lulus tes masuk perguruan tinggi dan telah registrasi, maka mereka telah sah dipanggil dengan sebutan mahasiswa.
Banyak hal yang terkadang rancu kita temui. Banyak orang yang mengatakan murid dan siswa itu sama. Padahal dalam proses pembelajarannya jelas berbeda. Murid TK masuk dalam pendidikan anak usia dini, murid SD masuk dalam pendidikan dasar, siswa smp masuk dalam pendidikan dasar lanjutan, dan siswa SMA/SMK masuk dalam pendidikan menengah. Sedangkan mahasiswa masuk dalam jalur pendidikan tinggi.
Persamaan murid, siswa, dan mahasiswa adalah mereka sama-sama peserta didik yang berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan jenjang yang sedang ditempuhnya.
Murid SD dan TK adalah peserta didik yang benar-benar mendapatkan bimbingan penuh dari seorang guru. Bisa juga dikatakan, murid TK dan SD masih disuapin oleh gurunya dalam hal menuntut ilmu. Guru masih menjadi primadona siswa, karena perannya yang sangat dibutuhkan.
Bagi siswa SMP/SMA/SMK, sedikit demi sedikit proses pembelajaran telah beralih kepada sistem belajar siswa aktif. Paradigma lama biasa disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan paradigma baru biasa desebut PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Makanya tidak ada istilah murid aktif, yang ada pembelajaran siswa aktif. Artinya, guru harus mampu mengaktifkan para siswa untuk belajar secara mandiri. Guru harus bisa menghidupkan suasana pembelajaran agar siswa dapat menemukan sendiri (inquiry) gaya belajarnya. Namun, tetap saja kendali dan arahan ada pada guru.
Sedangkan bagi seorang mahasiswa, pembelajaran yang diberikan lebih banyak kepada Pedagogi. Orang yang mengajar ereka biasa disebut dosen. Pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran orang dewasa. Mahasiswa dianggap telah mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam menuntut ilmu. Dosen hanya tinggal mengarahkan saja, apa yang harus dipelajarinya. Beban dosen tidak seberat beban guru TK atau guru SD yang memng harus dengan sabar mengajari mereka membaca dan menulis.

Senin, 24 Oktober 2011

Akhlak Kepada Sesama Manusia

 KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan Semesta Alam. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam beserta keluarga dan para shahabatnya. Penulis bersyukur karena dengan rahmat-Nya telah menyelesaikan makalah yang bertema “Akhlak Kepada Sesama Manusia” untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam I.
Materi yang ditulis pada makalah ini berisikan dua judul yang menggambarkan akhlak seorang muslim atau muslimah kepada sesama manusia dalam ajaran islam.
Akhirnya, semoga materi yang disampaikan pada makalah ini dapat menambah sedikit pengetahuan, khususnya tentang agama islam. Akhir, kata penulis mengucapkan selamat membaca.


Bogor, 20 Oktober 2011

Penulis
 









    



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
MUQADDIMAH.......................................................................................... iv
BAB I           PENDAHULUAN.................................................................. 1
A.  Latar Belakang..................................................................... 1         
B.  Identifikasi Masalah............................................................. 2         
C.  Tujuan Penulisan.................................................................. 2
D.  Metode Penulisan................................................................. 2
E.   Sistematika Penulisan........................................................... 3
BAB II         PEMBAHASAN...................................................................... 4         
Akhlak Kepada Sesama Manusia.............................................. 4         
1.    Definisi dan Jenis-Jenis Akhlak....................................... 4
A.  Definisi Akhlak........................................................... 4
B.  Jenis-Jenis Akhlak....................................................... 5
2.    Tujuan dan Sumber Akhlak............................................. 10
A.  Tujuan Akhlak............................................................ 10
B.  Sumber Akhlak........................................................... 11
1.    Akhlak Yang Bersumber Keagamaan.................... 11
2.    Akhlak Yang Bersumber Selain Agama/Sekuler... 13
3.    Akhlak Ikut Menjaga Kelangsungan Hidup Manusia..... 15
4.    Akhlak Terhadap Sesama Manusia.................................. 17
a. Akhlak Terhadap Orang Tua....................................... 17
b. Akhlak Terhadap Saudara........................................... 18
c. Akhlak Terhadap Tetangga.......................................... 19
d. Akhlak Terhadap Sesama Muslim............................... 20
e. Akhlak Terhadap Kaum Lemah................................... 21
5. Urgensi Akhlak Dalam Ritual Islam................................ 23
BAB III       KESIMPULAN & SARAN..................................................... 27       
A.  KESIMPULAN................................................................... 27       
B.  SARAN................................................................................ 42       
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... vi




















MUQADDIMAH


Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan islam.”
(Q.S. Ali ‘Imran : 102)

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
(Q.S. An-Nisaa’ : 1)

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah  dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
(Q.S. Al-Ahzaab : 70-71)




“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka”.
(H.R. Abu Dawud no. 2118, An-Nasa’i III/104-105, Ad-Darimi II/142, Ahmad I/392-393, 432, ‘Abdurrazzaq no. 10449, Ath-Thayalisi no. 338, Al-Hakim II/182-183, Al-Baihaqi VII/146 dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu. Lihat kitab Khuthbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashruddin Al-Albani Rahimahullah)

Amma ba’du:
Alhamdulillah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, meskipun masih ada sedikit kekurangan didalamnya, karena tidak ada manusia yang sempurna didunia ini dan tidak ada manusia yang tidak memiliki kekurangan didunia ini. Makalah ini bertemakan “Akhlak Kepada Sesama Manusia”. Penulis berusaha melakukan yang terbaik untuk penyusunan makalah ini, yang sesuai dengan al-qur’an dan as-sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman shalafus shalih. Jika ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini, penulis meminta maaf dan akan dengan ikhlas menerima kritikan dari pembaca, karena kebenaran itu datangnya hanya dari Allah dan kesalahan itu datangnya dari kami pribadi dan dari syaitan.
Penulis memohon kepada Allah agar makalah ini bermanfaat untuk penulis dan kaum muslimin, semoga Allah menjadikan amal ini ikhlas karena-Nya dan menjadi timbangan amal baik pada hari kiamat. Penulis mohon agar diberi ilmu yang bermanfaat, hidayah, taufiq, dan istiqamah diatas sunnah menurut pemahaman para shahabat Radiyallahu ‘Anhum.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu melimpahkan shalawat dan salam serta barakah-Nya yang melimpah kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, keluarganya dan para shahabatnya Radiyallahu ‘Anhum.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin.


Bogor, 20 0ktober 2011



Penulis

 







DAFTAR PUSTAKA




H. Atjep Effendi, 1994, Aqidah Akhlak MTs Kelas III, Bandung : CV.ARMICO;
Mahyuddin, 1999, Kuliah Akhlak , Jakarta : KALAM MULIA
Moh. Rifai, 1994, Aqidah Akhlak MA Kelas I, Semarang : CV.WICAKSANA;
http://riwayat.wordpress.com/2008/05/01/urgensi-akhlak-dalam-ritual-islam/.
http://rumaysho.com/belajar-islam/akhlak/2868-lemah-lembutlah-dalam-bertutur-kata-.html



              BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

 Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk berakhlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potensi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka perilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif(seperti berzina, membunuh, berjudi, meminum minuman keras, dan memakai narkoba) . Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Akhlak termasuk salah satu hal terpenting dalam pandangan islam. Betapa banyaknya orang yang tidak peduli dengan saudaranya yang kelaparan, betapa banyaknya orang yang sering sekali berkata hina dan kotor kepada orang lain. Terkadang ikhwan yang sudah begitu lama ia menghadiri majlis ilmu tetapi ia berkata kasar kepada orang lain. Maka dari itu akhlak adalah termasuk hal yang sangat terpenting dalam agama islam.
Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusuannya, berjuang dilihat dari kesabarannya, haji dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan, bukan apa yang diterima. Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam, maka Islam sebagai agama yang bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia.

B.  Identfikasi Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah ”Akhlak Kepada Sesama Manusia”.
Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1.    Apa definisi dari akhlak?
2.    Apa tujuan dari akhlak?
3.    Apakah akhlak ikut menjaga kelangsungan hidup manusia?
4.    Apa saja akhlak terhadap sesama manusia?
5.    Apa urgensi akhlak dalam islam?

C.  Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini ada dua bagian, yaitu umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah pendidikan agama islam.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini:
1.  Untuk mengetahui bagaimana akhlak seorang muslim atau muslimah kepada sesama manusia.
2.  Untuk mengetahui pentingnya akhlak dalam agama islam.

D.  Metode Penulisan
Dalam proses penyusunan makalah ini menggunakan motede heuristic. Metode yaitu proses pencarian dan pengumpulan sumber-sumber dalam melakukan kegiatan penelitian. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.

E.  Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan makalah ini dibagi menjadi empat bagian utama, yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:
Bagaian kesatu adalah pendahuluan. Dalam bagian ini penyusun memaparkan beberapa Pokok permasalahan awal yang berhubungan erat dengan permasalah utama. Pada bagian pendahuluan ini dipaparkan tentang latar belakang masalah batasan, dan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bagian Kedua yaitu pembahasan. Pada bagian ini merupakan bagaian utama yang hendak dikaji dalam proses penyusunan makalah. Penyusun berusaha untuk mendeskripsikan berbagai temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber/bahan.
Bagian ketiga yaitu kesimpulan. Pada kesempatan ini penyusun menyimpulkan segala permasalahan yang telah dibahas sebelumnya.











BAB II
PEMBAHASAN

Akhlak Kepada Sesama Manusia
1.    Definisi dan Jenis-Jenis Akhlak
A.  Definisi Akhlak
Kata “Akhlak” berasal dari kata arab, jamak dari khuluq, yang artinya tabiat, budi pekerti, watak, kesopanan. Sinonim kata akhlak adalah tatakrama, kesusilaan, sopan santun (Bahasa Indonesia), moral, ethic (Bahasa Inggris), ethos, ethikos (Bahasa Yunani).
Untuk mengetahui definisi akhlak menurut istilah, dibawah ini terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya :
a.    Ibnu Maskawaih mendefinisikan, Akhlak adalah sikap jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu);
b.    Prof. DR. Ahmad Amin menjelaskan, sementara orang membuat definisi Akhlak, bahwa yang disebut Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan Akhlak;
c.    Al-Qurthuby mendefinisikan, Akhlak adalah suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya yang disebut Akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian darinya;
d.   Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy mendefinisikan, Akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain);
e.    Abu Bakar Jabir Al-Jazairy mendefinisikan, Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang disengaja;
f.       Imam Al-Ghazali mendefinisikan Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan, tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk. Al-Qurthuby menekankan bahwa akhlak itu merupakan bagian dari kejadian manusia. Oleh karena itu, kata al-khuluk tidak dapat dipisahkan pengertiannya dengan kata al-khiiqah, yaitu fitrah yang dapat mempengaruhi perbuatan setiap manusia. Imam Al-Ghazaly menekankan, bahwa Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik atau buruk, dengan menggunakan ukuran ilmu pengetahuan dan norma agama.
Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy, Ibnu Maskawaih dan Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menekankan, bahwa Akhlak adalah keadaan jiwa yang selalu menimbulkan perbuatan yang gampang dilakukan. Meskipun ketiganya menekankan keadaan jiwa sebagai sumber timbulnya akhlak, namun dari sisi lain mereka berbeda pendapat, yaitu:
1.    Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy menekankan hanya perbuatan baik saja yang disebutnya akhlak;
2.    Ibnu Maskawaih menekankan seluruh perbuatan manusia yang disebutnya akhlak;
3.    Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menjelaskan perbuatan baik dan buruk yang disebutnya akhlak.

B.  Jenis-Jenis Akhlak
Utama akhlak menyatakan, bahwa Akhlak yang baik merupakan sifat para Nabi dan orang-orang Shiddiq, sedangkan akhlak yang buruk merupakan sifat Syaithan dan orang-orang yang tercela.
Maka pada dasarnya, Akhlak itu menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya:
a.    Akhlak baik atau terpuji (Al-Akhlaaqul Mahmuudah), yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang baik yaitu akhlak yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akhlak yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada Allah yaitu dengan mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, mengikuti ajaran-ajaran dari Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar.
Allah berfirman :
“Kamu adalah umat yang terbaik untuk manusia, menuju kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah”.
(Q.S.Ali-Imran : 110)
Akhlak yang baik menurut Imam Ghazali ada 4 (empat) perkara, yaitu bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan kekuatan hawa nafsu), dan bersifat adil. Jelasnya, ia merangkum sifat-sifat seperti berbakti pada keluarga dan Negara, hidup bermasyarakat dan bersilaturahim, berani mempertahankan agama, senantiasa bersyukur dan berterima kasih, sabar dan ridha dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya.
Akhlak yang baik yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang baik terhadap Tuhan antara lain:
1.    Bertaubat (At-Taubah), yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik;
2.    Bersabar (Ash-Shabru), yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi bukan berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Maka sabar yang dimaksudkannya adalah sikap yang diawali dengan ikhtisar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu cobaan dari Tuhan;
3.    Bersyukur (Asy-Syukru), yaitu suatu sikap yang selalu ingin memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Lalu disertai dengan peningkatan pendekatan diri kepada yang member nikmat, yaitu Allah;
4.    Bertawakkal (At-Tawakkal), yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berbuat semaksimal mungkin, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, ia harus lebih dahulu berupaya sekuat tenaga, lalu menyerahkan ketentuannya kepada Allah. Maka dengan cara yang demikian itu, manusia dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya;
5.    Ikhlas (Al-Ikhlaash), yaitu sikap menjauhkan diri dari riya (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain) ketika mengerjakan amal baik, maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakannya dengan ikhlas;
6.    Raja (Ar-Rajaa), yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalu menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka hal itu disebut “tamanni”;
7.    Bersikap takut (Al-Khauf), yaitu suatu sikap jiwa yang sedang menunggu sesuatu yang tidak disenangi dari Allah, maka manusia perlu berupaya agar apa yang ditakutkan itu, tidak akan terjadi.
Akhlak yang baik terhadap sesama manusia antara lain:
a.    Belas kasihan atau sayang (Asy-Syafaqah), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain;
b.    Rasa persaudaraan (Al-Ikhaa), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang lain, karena ada keterikatan bathin dengannya;
c.    Member nasihat (An-Nashiihah), yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-petunjuk yang baik kepada orang lain dengan menggunakan perkataan, baik ketika orang yang dinasihati telah melakukan hal-hal yang buruk, maupun belum. Sebab kalau dinasihati ketika ia telah melakukan perbuatan buruk, berarti diharapkan agar ia berhenti melakukannya. Tetapi kalau dinasihati ketia ia belum melakukan perbuatan itu, berarti diharapkan agar ia tidak akan melakukannya;
d.   Memberi pertolongan (An-Nashru), yaitu suatu upaya untuk membantu orang lain, agar tidak mengalami suatu kesulitan;
e.    Menahan amarah (Kazmul Ghaizhi), yaitu upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh perasaan marah terhadap orang lain;
f.     Sopan santun (Al-Hilmu), yaitu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang lain, sehingga dalam perkataan dan perbuatannya selalu mengandung adab kesopanan yang mulia;
g.    Suka memaafkan (Al-Afwu), yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain yang pernah diperbuat terhadapnya.

b.    Akhlak buruk atau tercela (Al-Akhlaqul Madzmuumah), yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji, seperti iri hati, ujub, dengki, sombong, munafik, hasud, berprasangka buruk, dan penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya.

Akhlak yang buruk yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang buruk terhadap Tuhan antara lain:
1.    Takabbur (Al-Kibru), yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mengakui kekuasaan Allah di alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah yang ada padanya;
2.    Musyrik (Al-Isyraak), yaitu suatu sikap yang mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya, dengan cara menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya;
3.    Murtad (Ar-Riddah), yaitu sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama Islam, untuk menjadi kafir;
4.    Munafiq (An-Nifaaq), yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya dalam kehidupan beragama;
5.    Riya (Ar-Riyaa), yaitu suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baik yang dilakukannya. Maka ia berbuat bukan karena Allah, melainkan hanya ingin dipuji oleh sesama manusia. Jadi perbuatan ini kebalikan dari sikap ikhlas;
6.    Boros atau berpoya-poya (Al-Israaf), yaitu perbuatan yang selalu melampaui batas-batas ketentuan agama. Tuhan melarang bersikap boros, karena hal itu dapat melakukan dosa terhadap-Nya, merusak perekonomian manusia, merusak hubungan sosial, serta merusak diri sendiri;
7.    Rakus atau tamak (Al-Itirshul atau Ath-Thama’u), yaitu suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal ini termasuk kebalikan dari rasa cukup (Al-Qana’ah) dan merupakan akhlak buruk terhadap Allah, karena melanggar ketentuan larangan-Nya.

Akhlak yang buruk terhadap sesama manusia antara lain:
1.    Mudah marah (Al-Ghadhab), yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya, sehingga menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain. Kemarahan dalam diri setiap manusia, merupakan bagian dari kejadiannya. Oleh karena itu, agama Islam memberikan tuntunan, agar sifat itu dapat terkendali dengan baik;
2.    Iri hati atau dengki (Al-Hasadu atau Al-Hiqdu), yaitu sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan kebahagiaan hidup orang lain bisa hilang sama sekali;
3.    Mengadu-adu (An-Namiimah), yaitu suatu perilaku yang suka memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain, dengan maksud agar hubungan social keduanya rusak;
4.    Mengumpat (Al-Ghiibah), yaitu suatu perilaku yang suka membicarakan perkataan seseorang kepada orang lain;
5.    Bersikap congkak (Al-Ash’aru), yaitu suatu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan, baik dilihat dari tingkah lakunya maupun perkataannya;
6.    Sikap kikir (Al-Bukhlu), yaitu suatu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain;
7.    Berbuat aniaya (Azh-Zhulmu), yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian materiil maupun non materiil. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa seseorang yang mengambil hak-hak orang lain, termasuk perbuatan dzalim (menganiaya).






2.    Tujuan dan Sumber Akhlak
A.  Tujuan Akhlak
Akhlak bertujuan hendak menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Akhlak hendak menjadikan manusia/ orang yang berkelakuan baik, bertindak baik terhadap manusia, terhadap sesama makhluk, dan terhadap Allah, Tuhan yang menciptakan kita. Sedangkan pelajaran akhlak atau ilmu akhlak bertujuan mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan buruk, agar manusia dapat memegang dengan perangai-perangai yang baik dan menjauhkan diri dari perangai-perangai yang jahat, sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan masyarakat dimana tidak ada benci-membenci, curiga-mencurigai antara satu dengan yang lain, dimana tidak ada perkelahian, persengketaan dan tidak ada pukul-memukul antara sesama hamba Allah yang hidup di muka bumi ini. Yang hendak dikendalikan oleh akhlak ialah tindakan lahir manusia, tetapi karena tindakan lahir itu tidak akan terjadi jika tidak didahului oleh gerak-gerik bathin, yaitu tindakan hati, maka tindakan bathin dan gerak-gerik hati pun termasuk lapangan yang diatur oleh akhlak manusia. Tidak akan terjadi perkelahian kalau tidak didahului oleh tindakan bathin atau gerak-gerik hati, yaitu benci.
Karena hal-hal tersebut diatas, dalam akhlak setiap orang diwajibkan menguasai hatinya, dan mengontrol hatinya sendiri, karena anggota bathin adalah sumber dari segala tindakan lahir. Jika setiap orang dapat menguasai tindakan bathinnya, maka dapatlah ia menjadi orang yang berakhlak baik. Tegasnya baik-buruk itu tergantung kepada tindakan hatinya.
Dalam hal ini Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda:
“Ketahuilah dan bahwasannya, didalam tubuh itu ada sepotong daging yang apabila baik dia, baik pula tubuh seluruhnya, dan apabila rusak dia, rusaklah tubuh seluruhnya, yaitu dia hati”.
Hati ini menunjukkan, bahwa hati itulah yang menguasai segenap tubuh manusia dan sekalian anggota mengikut pada perintahnya, meskipun anggota itu sudah terlalu payah. Dalam hal ini dapatlah diibaratkan bahwa jasad itu bagaikan pemerintahan dalam diri kita, sedangkan hati menjadi pusat pemerintahan.
Seseorang yang mempunyai hati keras, meskipun badannya tidak begitu kuat, lebih diharapkan akan beroleh hasil pekerjaannya daripada seorang yang berbadan kuat tetapi hatinya lemah. Untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera, perlu sekali tiap-tiap anggota masyarakatnya berakhlak yang baik. Kita ini sebagai anggota masyarakat tak dapat memisahkan diri dari masyarakat. Karena itu kita masing-masing pun mempunyai tugas tertentu dalam masyarakat. Tugas yang harus dilaksanakan untuk keselamatan masyarakatnya. Tugas yang tak boleh dihindarinya, tiap-tiap anggota masyarakat bertanggungjawab atas keselamatan masyarakat.
Karena itu Ibnu Rusyd mengungkapkan dalam sya’ir-nya sebagai berikut:
“Bangsa-bangsa itu hanya tegak dan jaya selama ada akhlak-nya, dan kalau mereka kehilangan akhlak, mereka pun punah-lah”.

Betapa pentingnya keberadaan akhlak bagi kehidupan manusia, maka tepat sekali ungkapan Ibnu Rusyd tersebut diatas. Berkenaan dengan pentingnya akhlak itu, maka Allah mengurus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak yang telah dibawakan oleh Nabi-Nabi terdahulu, sesuai dengan Sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”.

Bertolak dari kemuliaan akhlak bagi seseorang dalam hidup di tengah-tengah masyarakat, maka bagi setiap orang mukmin ingin mencapai derajat sebagai mukmin yang paling utama, haruslah menyempurnakan akhlaknya, sesuai dengan tuntunan Islam.

B.  Sumber Akhlak
Sumber akhlak ini dapat dibedakan atas 2 (dua) bagian, yaitu akhlak yang bersumber keagamaan dan akhlak yang bersumber tanpa agama atau sekuler.
1.    Akhlak yang bersumber keagamaan
Akhlak yang bersumber agama ini pun masih dapat dibedakan atas 2 (dua) bagian yaitu bersumber agama Samawi (Islam, Kristen, Yahudi) dan yang bersumber agama Ardi (Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Sinto).
Akhlak yang bersumber agama ini memberikan bimbingan kepada manusia dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia berdasarkan aturan-aturan dalam agama itu sendiri. Akhlak yang bersumber agama mempunyai 2 (dua) pendorong, yaitu iman kepada kekuatan ghaib serta sanksi-sanksi yang dikenakan masyarakat. Dalam Islam sumber akhlak ialah Al-Quran dan Sunnah Rasul.
a.    Al-Quran
Diantara ayat-ayat Al-Quran yang sebagai sumber akhlak antara lain:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat dan banyak mengingat Allah”.
Nabi Muhammad selalu memberikan contoh kepada sahabat-sahabatnya, beliau juga memikul tanah bersama-sama sahabatnya pada peperangan Khandaq, beliau memikul tanah diatas pundaknya, padahal beliau mengetahui bahwa ada yang menggantinya dengan sukarela dan senang hati, akan tetapi beliau ingin memberikan contoh tauladan dengan perbuatan itu, dan mengobarkan semangat iman didalam hati mereka.
Dalam ayat lain dijelaskan:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh”
b.   As-Sunnah/Hadits sebagai sumber akhlak, antara lain:
Rasulullah bersabda:
“Bahwasannya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (budi pekerti)”

Rasulullah bersabda:
“Sempurna-sempurna orang mukmin imannya, ialah yang terbaik budi pekertinya. Dan sebaik-baiknya kamu ialah yang terbaik pergaulannya terhadap istrinya”

Rasulullah bersabda:
“Sungguh engkau tidak akan dapat memberikan kelapangan orang dengan harta-hartamu, tetapi kamu dapat memberikan kelapangan kepada mereka dengan muka yang berseri-seri dan budi pekerti yang baik (kamu tidak akan memperoleh wibawa)”
2.    Akhlak yang bersumber selain Agama/sekuler
Dimaksudkan dengan sumber akhlak sekuler ialah yang berasal dari hasil ciptaan kebudayaan manusia semata-mata dengan mengenyampingkan pengaruh-pengaruh yang bersifat ghaib.
Sumber-sumber hasil ciptaan manusia yang menjadikan atau membentuk akhlak sangat banyak dan kompleks, tetapi sumber mana yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap akhlak sesesorang atau masyarakat, terhadap perbedaan pendapat di kalangan para ahli filsafat akhlak. Pada garis besarnya pendapat-pendapat itu dapat dibedakan atas:
a.    Instink
Menurut para pengamat filsafat akhlak mengemukakan bahwa instink merupakan sumber dominan sebagai sumber akhlak. Manusia itu memiliki instink yang dapat membedakan baik dan buruk yang diperoleh dengan semacam ilham atau suara hati kecil. Dengan ilham itu manusia dapat menilai sesuatu perbuatan atau kejadian yang tengah ia lihat atau sebelum ia melihat atau melakukan sesuatu itu sebagai peringatan baginya.
b.   Pengalaman
Disamping instink, unsur pengalaman juga merupakan sumber yang dominan dalam pembentukkan norma-norma akhlak seseorang. Hal ini dapat dicontohkan, bahwa anak kecil mula-mula menilai obat itu baik, dapat mendatangkan kesembuhan penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu akhlak dipengaruhi oleh kemajuan zaman, kecerdasan pikiran, beberapa eksperimen atau pengalaman-pengalaman manusia.
Teori pengalaman dalam masalah sumber akhlak ini masih dapat dibagi atas 3 (tiga) bagian:
1)   Adat-Istiadat
Teori ini mengemukakan, bahwa norma-norma akhlak itu tumbuh dari sumber adat-istiadat atau kebiasaan, baik perorangan maupun kelompok. Kelestarian adat-istiadat dipertahankan dan dijaga dengan berbagai cara, misalnya apabila seseorang melanggar adat-istiadat tersebut ia dicela sebagai orang yang tidak beradat, sehingga ia dikucilkan dari pergaulan masyarakat.
2)   Madhab Hedonisme (Teori Kenikmatan)
Teori ini menyatakan, bahwa norma-norma akhlak itu tumbuh dari sumber adanya kebahagiaan atau kelezatan. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan, dan perbuatan buruk ialah yang mendatangkan penderitaan.
Teori kenikmatan ini pun terbagi atas 2 (dua):
a.    Paham Egoistik Hedonisme
Menyatakan bahwa suatu perbuatan itu baik apabila mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya sang pelaku, walaupun mungkin mendatangkan penderitaan bagi orang lain. Dan perbuatan itu dianggap buruk kalau mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain yang lebih banyak. Pelopornya Epicurus (Yunani) 341-270 SM.
b.   Dalam Universalistik Hedonisme
Teori ini menyatakan, bahwa baik dan buruknya sesuatu perbuatan diukur dengan besar-kecilnya kebahagiaan yang ditimbulkannya, bukan untuk diri pelakunya saja, tetapi juga untuk sesama manusia bahkan untuk sesama makhluk. Dalam melihat kebahagiaan yang ditimbulkan tidak terbatas kepada keadaan yang langsung dan dekat, tetapi meliputi keadaan yang tidak langsung dan berpandangan jauh ke depan. Kebahagiaan yang disuap dan mendatangkan kebahagiaan bagi yang menyuap, karena dapat tercapai apa yang dikehendaki dengan cara suap itu, namun hal itu justru akan menimbulkan kesengsaraan yang lebih parah, apabila masalah suap itu sampai membudaya. Maka dari itu suap tetap dipandang sebagai perbuatan buruk/jahat.
3)   Madhab Evolution
Teori ini mengemukakan, bahwa norma baik dan buruk selalu berkembang mengikuti peningkatan dan perkembangan peradaban manusia. Maka dari itu pada masyarakat yang sudah lebih maju, pintar dan lebih cerdas, akhlaknya akan lebih sempurna dan jauh berpandangan ke depan. Paham ini bertolak dari teori Darwin, bahwa kehiduupan di ala mini senantiasa terjadi “selection of nature” (seleksi secara alamiah).


3.    Akhlak ikut menjaga kelangsungan hidup manusia
a.    Akhlak yang baik dapat menjaga kelangsungan hidup manusia, karena akhlak yang baik itu antara lain dapat:Menciptakan manusia sebagai makhluk berkelakuan mulia, baik dihadapan Allah, maupun sesama manusia dan sesama makhluk lainnya;
b.    Membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain (melalui perangainya);
c.     Menciptakan manusia mencapai kedudukan yang tinggi dan sempurna menurut fitrah kemanusiaannya;
d.   Menjaga kelangsungan hidup manusia, dengan menciptakan masyarakat yang tentram, sejahtera. Keadaan seperti ini benar-benar dapat terwujud manakala mereka berakhlak baik.

Betapa pentingnya keberadaan akhlak bagi kehidupan manusia, maka tepat sekali ungkapan Ibnu Rusyd tersebut, berkenaan dengan pentingnya akhlak itu, maka Allah mengutus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak, yang telah dibawakan oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan menyempurnakan akhlak. Tugas Nabi yang telah digariskan itu dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpatik manusia untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran Risalahnya.
Ajaran risalah yang diajarkan Nabi memberikan kejelasan tentang faktor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan menjelaskan segala segi kehidupan.Bila kita memperhatikan segala ajaran yang dibawa oleh junjunan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, maka kita mengerti bahwa Islam menghendaki manusia muslim yang sempurna akhlaknya, menghargai kemanusiaan yang melaksanakan kebajikan sebagai tugas hidupnya.
Adapun akhlak yang menjadikan manusia muslim yang sempurna ialah tersimpul dalam:
a.    Budi pekerti yang dipraktekkan untuk diri sendiri dan untuk keluarga;
b.    Budi pekerti yang diwujudkan kea lam kenyataan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat pergaulan;
c.    Budi pekerti yang diperjuangkan untuk kemakmuran dan kejayaan Negara, tanah air, dan pemerintahnya.

Tiap-tiap muslim harus dapat mewujudkan kepada masyarakat dengan amal bakti bagi diri sendiri, bagi masyarakat dan bangsa. Jika semua telah dipenuhi oleh tiap-tiap muslim, maka akan tercapailah terwujud cita-cita yang selalu diidam-idamkan yaitu masyarakat yang adil dan makmur yang senantiasa mendapat ridha dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.




























4.    Akhlak terhadap sesama Manusia
a.    Akhlak terhadap Orang tua
1.    Peranan orang tua dalam kehidupan seorang anak
Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia lahir ke dunia ini adalah melalui ibu-bapak. Susah dan payah dialami oleh ibu dan bapak untuk memelihara anaknya, baik ketika masih dalam kandungan, maupun setelah lahir ke dunia. Pertama-tama ibu harus mengandung kita selama kurang lebih 9 bulan. Selama dalam kandungan, ibu menanggung kepayahan, keletikan dan kesakitan.
Sementara agar beban yang ditanggung oleh ibu-bapak jangan terlalu berat, maka tiap sebulan sekali atau setengah bulan sekali diperiksa ke dokter. Hal ini dilakukan demi keselamatan bayi yang ada dalam kandungan. Demikian pula ketika hendak melahirkan, perasaan gelisah, takut, sakit menjadi satu, dan nyawa ibulah sebagai taruhannya. Bersamaan itu pula bapak berdoa agar istrinya melahirkan dengan selamat, dan anak yang lahir ke dunia juga dalam keadaan selamat dan sehat.
Setelah bayi lahir ke dunia, lalu dipelihara dan dijaganya dengan penuh perhatian, disusui, disuapi makanan, dimandikan, diayun dan dibuai ketika menangis, agar cepat diam dan tidur. Kalau bayi sakit, ibu dan bapak gelisah pula, mereka mencarikan obat agar cepat pulih kembali kesehatannya.
Selanjutnya, ibu dan bapak mengajarkan kita duduk, berdiri, berjalan, bercakap-cakap, bermain-main dan menjaga agar kesehatan kita tetap baik dan pertumbuhan fisik dan rohaninya tetap normal.
Ibu-bapak kita benar-benar berjasa, dan jasanya tidak bias dibeli sama sekali dan tak dapat diukur oleh apapun juga. Merekalah yang mengusahakan agar kita dapat makan dan membelikan pakaian untuk kita. Selanjutnya kita dimasukkan ke lembaga pendidikan, mulai dari sekolah pendidikan dasar sampai menengah dan mungkin sampai ke perguruan tinggi, agar kita berakhlak baik, teguh mengamalkan ajaran-ajaran agama dan mempunyai masa depan yang gemilang.
2.    Cara berbuat baik kepada orang tua
Cara berbuat baik kepada ibu-bapak diantaranya:
a.    Mendengarkan nasihat-nasihatnya dengan penuh perhatian, mengikuti anjurannya dan tidak melanggar larangannya;
b.    Tidak boleh membentak ibu-bapak, menyakiti hatinya, apalagi memukul. Ibu dan bapak harus diurus atau dirawat dengan baik;
c.    Bersikap merendahkan diri dan mendoakan agar mereka selalu dalam ampunan dan kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala;
d.   Sebelum berangkat dan pulang sekolah hendaklah membantu orang tua;
e.    Menjaga nama baik kedua orang tua di masyarakat;
f.     Memberi nafkah, pakaian, dan membayarkan hutangnya kalau mereka tidak mampu atau sudah tua;
g.    Menanamkan hubungan kasih sayang terhadap orang yang telah ada hubungan kasih sayang oleh ibu-bapaknya;

3.    Membiasakan diri berbuat baik kepada kedua orang tua
Membiasakan diri berbuat baik kepada kedua orang tua adalah perbuatan yang amat mulia. Bahkan dianjurkan setiap setelah shalat mendoakan kedua orang tua. Apabila kedua orang tua itu telah meninggal misalnya, maka kita sebagai anaknya berkewajiban berbakti kepada mereka seperti:
a)   Menshalati jenazahnya;
b)   Memintakan ampunan kepada Allah;
c)   Menyempurnakan janjinya;
d)  Memuliakan sahabatnya;
e)   Menghubungi anak keluarganya yang bertalian dengan keduanya.

b.   Akhlak terhadap Saudara
1.    Peranan Saudara dalam kehidupan sehari-hari
Peranan saudara dalam kehidupan kita sangatlah penting, karena pada dasarnya kita adalah makhluk sosial yang senantiasa saling bantu-membantu dalam menempuh kehidupannya, terutama saudaranya yang terdekat.
Oleh karena itu, saudara masih ada hubungan darah dengan kita, maka merekalah yang paling pertama kita minta bantuannya. Lebih-lebih bila kita sedang mendapat musibah atau bencana lainnya, misalnya sakit, kecurian dan sebagainya. Karena itu, hubungan antara saudara dengan saudara haruslah dipelihara dengan sebaik-baiknya, jangan sampai retak, jangan sampai timbul hal-hal yang menyebabkan tali silaturahmi terputus, apalagi kalau sampai timbul perpecahan atau permusuhan dan percekcokan satu sama lain.

2.    Cara berbuat baik kepada saudara
Cara berbuat baik kepada saudara diantaranya:
a.    Menghormati dan mencintai mereka. Karena kita dengan saudara asal-mulanya dari ayah dan ibu. Mencintai mereka sama dengan kita mencintai diri sendiri;
b.    Menghormati saudara yang lebih tua sebagaimana menghormati orang tua, mengindahkan nasihat-nasihatnya dan tidak menentang perintahnya;
c.    Mencintai dan menyayangi yang lebih kecil dengan penuh kasih sayang sebagaimana orang tua menyayangi mereka;
d.   Saling bantu-membantu sekuat tenaga, sabar terhadap mereka. Jika bersalah, berilah peringatan secara halus dan ramah-tamah.

c.    Akhlak terhadap Tetangga
1.    Peranan Tetangga dalam kehidupan seseorang
Kita hidup ditengah-tengah masyarakat, laksana ikan dengan air. Harus saling menghidupi dan menjernihkan. Tidak boleh sombong kepada orang lain, terutama dengan kerabat dan tetangga. Mereka ini adalah saudara kita yang paling dekat dan cepat menolong dikala kita mendapat musibah atau malapetaka. Meskipun mempunyai family sekian banyak dan terkemuka, tetapi tak mustahil tempat tinggalnya berjauhan.
Oleh karena itu, dikala kita mendapat musibah seperti sakit, meninggal dunia, atau kesusahan-kesusahan lainnya, maka yang paling duluan tampil datang adalah tetangga kita. Karena itu berlakulah kepadanya secara baik menurut tuntunan agama.
2.    Cara berbuat baik kepada tetangga
Cara berbuat baik kepda tetangga diantaranya:
a.    Menolong dan membantunya bila membutuhkan pertolongan, walaupun mereka tidak mau membantu kita;
b.    Member hutang bila meminta bantuan hutang kepada kita;
c.    Ikut meringankan beban dan kesengsaraan bila tetangga itu miskin dan sengsara, sekiranya kita mempunyai kelebihan;
d.   Menjenguknya bila sakit atau membantunya dengan obat;
e.    Bila tetangga ada yang meninggal dunia, hendaknya ikut belasungkawa, dan mengantarkan jenazahnya ke kuburnya;
f.     Bila tetangga mendapat kesenangan atau nasib baik dan menggembirakan, sebaiknya menyampaikan ucapan selamat kepadanya;
g.    Ikut meringankan beban musibah tetangga yang meninggal;
h.    Bila ingin membuat rumah bertingkat, sebaiknya minta izin atau sepengetahuan tetangganya, disamping minta izin kepada pemerintah;
i.      Menghindari perkataan atau tindakan yang menyakitkan tetangga. Bila berkata atau bertindak salah, sebaiknya segera minta maaf;
j.      Jika boleh memamerkan sesuatu yang dibeli atau yang dimiliki kepada tetangga, baik berupa makanan ataupun yang lainnya, bila kita tidak ingin memberinya;
k.    Jangan menyalakan atau membunyikan radio tape recorder atau TV terlalu keras, yang dapat membisingkan tentangga.
3.    Membiasakan diri berbuat baik terhadap tetangga
a.    Supaya senantiasa berbuat baik terhadap tetangga dalam segala situasi, dalam kehidupan sehari-harinya hingga meninggalnya tetangga itu;
b.    Setiap orang muslim wajib memuliakan tetangganya, karena memuliakan tetangga merupakan salah satu akhlak mulia, yang harus dimiliki setiap muslim;
c.    Kita diperintahkan agar suka member makanan kepada tetangga, terutama tetangga yang terdekat.

d.   Akhlak terhadap Sesama Muslim
1.    Peranan Persaudaraan sesama Muslim
Diantara sesama muslim yang lain adalah bersaudara. Oleh sebab itu, kita harus bersikap baik terhadap sesama muslim. Mereka itu bagaikan satu anggota badan, bilamana yang satu sakit atau ditimpa musibah, maka yang lain ikut merasakannya. Misalnya, kalau gigi seorang sakit, maka anggota badan yang lainnya ikut pula merasakannya. Demikian pula umat Islam, kalau ada salah seorang dari umat Islam ditimpa malapetaka, maka yang lain harus ikut merasakannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara bergotong royong dalam meringankan bebannya.

2.    Cara berbuat baik terhadap sesama muslim
Cara berbuat baik terhadap sesama muslim diantaranya:
a.    Memberi salam;
b.    Memenuhi undangannya, terutama hari pertama dalam walimatul uruz;
c.    Saling memberi nasihat;
d.   Menjenguk ketika sakit, sambil mendoakan;
e.    Mengantarkan jenazah orang islam;
f.     Tidak bermusuhan selama 3 hari;
g.    Tidak boleh bersikap sombong;
h.    Tidak melahirkan kegembiraan disaat orang Islam yang lain ditimpa kesusahan;
i.      Mau membela sesama muslim;
j.      Menjunjung tinggi kehormatan, harta dan jiwa;
k.    Mau mengusahakan perdamaian kalau terjadi perselisihan diantara sesama muslim;
l.      Menutupi rahasianya;
m.  Memberi bantuan disaat membutuhkan;
n.    Menyantuni orang-orang miskin dan lemah di kalangan umat Islam;
o.    Ikut membahagiakan sesama muslim.

3.    Membiasakan diri untuk berbuat baik terhadap sesama Muslim
a.    Harus saling memaafkan;
b.    Harus saling menyelamatkan;
c.    Jangan suka memfitnah;
d.   Jangan berbuat dzalim;
e.    Jangan berburuk sangka;
f.     Jangan merusak.

e.    Akhlak terhadap Kaum Lemah
1.    Pengertian dan cara berbuat baik kepada kaum lemah
Kaum lemah adalah orang-orang yang belum memiliki kemampuan dalam segala hal atau bidang tertentu. Tidak memiliki kemampuan ini biasanya menjadi penghambat untuk mencapai keinginannya (cita-citanya). Sebagai contoh yang termasuk orang-orang lemah misalnya, orang bodoh (tak berilmu pengetahuan), orang miskin (tak berharta), dan sebagainya.
Ajaran Islam telah menegaskan, bahwa siapa yang menolong orang lemah, niscaya Allah akan memberikan pertolongan. Sebaliknya mereka yang tidak mau menolong kaum lemah, niscaya Allah tidak menyukainya.
Pertolongan itu tidaklah hanya dilakukan terhadap sesama pemeluk agama Islam belaka, tetapi setiap pemeluk agama Islam harus pula melakukan pertolongan kepada sesama umat manusia, sekali pun lain agama. Bukankah agama Islam memerintahkan agar kita tetap berbakti kepada orang tua, sekali pun kedua-duanya berlainan agama dengan kita, juga memerintahkan kepada kita agar tetap berbuat baik kepada tetangga, sekali pun mereka itu orang-orang yang musyrik. Demikian pula terhadap seluruh umat manusia, baik Islam maupun bukan, kita harus selalu berakhlak baik kepada mereka, harus berkata dengan perkataan yang bagus dan harus memperlakukan mereka dengan layak.
Pada hakikatnya menolong manusia berarti juga menolong diri sendiri. Misalnya kita menjadi orang kaya yang sibuk dengan pekerjaannya, kemudian kita menolong beberapa orang yang menganggur dengan memberikan pekerjaan kepada mereka dalam satu perseroan terbatas yang kita pimpin. Tentu saja kerja mereka memberikan keuntungan kepada kita. Disinilah letak rahasinya, kita memperoleh rahmat Allah baik langsung maupun tidak, di dunia dan kelak di akhirat.
Sewajarnyalah bagi setiap pemuda dan pemudi yang masih berusia muda belia, segar bugar, sehat jasmani dan rohaninya mempunyai rasa kasih sayang kepada orang-orang lemah. Misalnya kepada orang cacat fisiknya atau mentalnya, orang yang lanjut usia, dan orang yang ditimpa kemiskinan. Generasi tua telah memberikan tauladan yang baik yang patut ditiru oleh generasi yang lahir pada periode berikutnya.

2.    Membiasakan diri berbuat baik kepada kaum lemah
a.    Menunjukkan kepada orang lain yang tersesat, dan menuntut orang buta di jalan yang ramai;
b.    Memberikan tempat duduk kepada orang yang telah tua, orang buta, anak-anak dan wanita waktu berdesak-desakan kendaraan dalam bis, kereta api, dan sebagainya;
c.    Memberi sedekah kepada peminta-minta dengan sikap yang baik;
d.   Memberikan bantuan kepada panti asuhan yatim piatu dan rumah miskin;
e.    Memberikan bantuan kepada korban bencana alam, berupa uang, pakaian, dan obat-obatan;
f.     Menganggap pembantu rumah tangga sebagai anggota keluarga sendiri;
g.    Suka menolong orang lain yang sangat memerlukan bantuan, diantaranya membantu orang miskin, orang cacat mental, orang cacat jasmani, dan lain-lain.

5.    Urgensi Akhlak dalam Ritual Islam
Benarkah akhlak menjadi kunci sukses seseorang dunia akhirat? Apakah akhlak mempunyai eksistensi dalam Islam? Apakah akhlak menjadi penentu bagi seseorang untuk masuk syurga? Bukankah cukup hanya dengan Iman, dan banyak beribadah kita dapat masuk syurga? Apakah benar tujuan dari berbagai ibadah dalam Islam, seperti puasa, shalat, zakat, dan haji untuk membentuk akhlak mulia? Apakah tanpa akhlak mulia ibadah kita sia-sia?.
Untuk menjawab semua pertanyaan diatas, perlu kita telusuri dalam Al-Quran dan Hadits, ternyata banyak hadits dan ayat yang secara langsung maupun tidak langsung menghubungkan antara ritual/ibadah pembentukkan akhlak mulia, hal ini dapat kita perhatikan dari berbagai ritual dalam Islam, ternyata semuanya selalu berhubungan dengan pembentukan akhlak mulia. Allah mengutus Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak manusia,” sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.
(H.R. Ahmad).
Hadits tersebut dapat dipahami bahwa Rasulullah diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, mungkin kita akan bertanya, apakah Rasulullah diutus hanya untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak? Tentu tidak hanya itu saja, tetapi pada dasarnya syariat yang dibawa para Rasul bermuar pada pembentukkan akhlak. Apakah manusia tidak mampu memperbaiki akhlaknya sendiri, sehingga perlu diutus seorang Rasul? Bukankah manusia dibekali akal? Dengan akalnya manusia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk? Mungkin disatu sisi argument tersebut ada benarnya, tetapi akal manusia terbatas, kalau akal dapat menentukan baik dan buruk, tentunya Allah tidak perlu lagi menurunkan kita-kitabnya, tidk perlu mengutus para Nabi untuk menjelaskan Ayat-ayat-Nya.
Allah Azza wa jalla sangat peduli kepada manusia, Allah sangat tahu kemampuan manusia, meskipun diberi akal manusia tetap makhluk yang lemah pengetahuannya terbatas. Sehingga Allah perlu mengutus Nabi dan Rasul untuk menjelaskan Kitab-Kitab-Nya dan menunjukkan manusia jalan yang lurus, dan akhlak yang mulia.
Berbagai ritual diperintahkan Allah melalui para Nabi dan Rasul, ternyata banyak bermuara pada pembentukkan akhlak, seperti dalam perintah Shalat,” dan dirikanlah shalat, sesungguhnya Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar,”
(Q.S. Al-Ankabut:45).

Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah Shalat adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar, pada hakikatnya adalah terbentuknya manusia berakhlak mulia, bahkan kalau kita telusuri proses ritual Shalat selalu dimulai dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti harus bersih badan, pakaian dan tempat, dengan cara mandi dan wudhu, intinya Shalat dipersiapkan untuk membentuk sikap manusia selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan melatih seseorang untuk tepat waktu.
Dalam hadits Qudsi Allah berfirman,
”Sesungguhnya Aku menerima shalat dari seseorang yang mengerjakannya dengan khusuk karena kebesaran-Ku, dan ia tidak mengharapkan anugerah dari Shalatnya.
Sebagai hamba-Ku, ia tidak menghabiskan waktu malam karena bermaksiat kepada-Ku, menghabiskan waktu siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, mengasihi orang miskin, Ibnu Sabili, mengasihi diri, dan menyantuni orang terkena musibah.”
Ternyata, Allah menerima shalat seseorang bukan karena sebagai hamba, tetapi lebih kepada kemuliaan akhlaknya, seperti ikhlas tanpa pamrih, tidak bekerja karena atasan, menyantuni anak yatim, orang miskin, orang yang terkena musibah, tidak bermaksiat. Bila akhlak kita belum baik, maka shalat belum diterima, bahkan ada kemungkinan kita termasuk orang-orang tidak berakhlak, lebih dari itu, jika kita belum mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, sebenarnya kita telah gagal dalam ritual shalat, dan kepribadian kita diragukan.
Selanjutnya, akhlak juga dapat menentukan beriman atau tidaknya seseorang,” demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman. Para sahabat bertanya, siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: orang yang tidak menyimpan rahasia kejelekan tetangganya
(H. R. Muslim).
Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa secara meyakinkan orang yang berakhlak buruk kepada tetangganya oleh Rasulullah dianggap tidak beriman, selama ini mungkin kita menganggap perbuatan jahat kita kepada orang lain atau tetangga sebagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang tidak akan berpengaruh pada eksistensi keimanan, padahal kalau kita mengetahui, ternyata berakhlak jelek sangat besar pengaruhnya terhadap keimanan.
Bahkan manusia paling jelek disisi Allah pada hari kiamat adalah manusia berakhlak jelek,” sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari kejelekannya.”
(H.R. Bukhari).
Ternyata Allah menggolongkan manusia yang tidak berakhlak termasuk manusia yang paling jelek dihadapan-Nya. Sebaliknya orang yang paling dicintai oleh Rasulullah adalah yang paling baik akhlaknya, sesungguhnya orang yang paling aku cintai dia yang paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
(H.R. At-Tirmidzi).
Ternyata orang mukmin yang sempurna imannya bukan karena banyak ibadahnya, tetapi yang baik akhlaknya,” orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
(H.R. Abu Daud).
Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa kita belum sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kita menafkahkan harta yang kita cintai, menafkahkan harta kepada orang yang sangat memerlukan adalah wujud dari kesantunan dan kedermawanan seseorang, dan sikap itu merupakan bukti kemuliaan akhlaknya, “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
(Q.S. Ali Imran:92).
Demikian juga orang bertakwa dan berakhlak mulia dijamin masuk syurga,” penyebab utama masuknya manusia ke syurga, karena bertakwa kepada Allah dan kemuliaan akhlaknya.”
(H. R. Tirmidzi).
Biasanya orang bertakwa akan berbuat dan bersikap baik dan mengutamakan akhlak mulia, perbuatan baik merupakan wujud kemuliaan akhlaknya, sedangkan perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan buruk,” sesungguhnya perbuatan-perbuatan (akhlak) yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.”
(Q.S. Hud:114).
Ternyata keberhasilan ritual seseorang disisi Allah dilihat dari sejauhmana ia telah menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.





















BAB III
KESIMPULAN & SARAN

A.  KESIMPULAN
Dari sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
a.       Akhlak itu artinya tabiat, budi pekerti, watak, tatakrama, kesusilaan, sopan santun, dan moral. Sedangkan jenisnya terbagi kepada dua bagian yaitu akhlak terpuji (akhlakul mahmudah) dan akhlak tercela (akhlakul mazmumah);
b.    Akhlak bertujuan untuk menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Sedangkan sumbernya akhlak itu dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu akhlak yang bersumber keagamaan dan akhlak yang bersumber tanpa agama;
c.    Akhal yang baik itu dapat menjaga kelangsungan hidup manusia;
d.   Akhlak terhadap sesama manusia itu antara lain akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap saudara, akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap sesama muslim, dan akhlak terhadap kaum lemah;
e.    Akhlak itu dapat mengantarkan seorang hamba dekat dengan khaliqnya, orang yang suka berderma dekat Allah, dekat dengan Syurga, dekat dengan manusia, serta jauh dari neraka. Maka dari itu, kita harus memahami urgensi akhlak dalam ritual Islam.

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia.
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima)”.
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 263).
Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”.
(Q.S. An-Nur [24]: 27).
“Salam yang diucapkan itu wajib dijawab dengan salam yang serupa, bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang lebih baik.”
 (Q.S. An-Nisa' [4]: 86).

“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia”.
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar,

"Dan katakanlah perkataan yang benar" .
(Q.S. Al-Ahzab [33]: 70).

“Tidak wajar seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok lain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan buruk”.
(Q.S. Al-Hujurat [49]: 11-12).

Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah (seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar Radiyallahu ‘Anhu) menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi Al-Quran turun menyatakan:
“Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(-nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Q.S. An-Nur [24]: 22).
Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran surat Ali Imran (3): 134, yaitu: Maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya), sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik. 
Dalam Al-Quran ditemukan anjuran, "Anda hendaknya mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan Anda sendiri."
"Mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan".
(QS Al-Hasyr [59]: 9).

Mari kita simak hadist dibawah ini,
Al Muflisun (Orang yang Bangkrut / Pailit)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( أَتَـدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ ؟ )) قَالُواْ :
 (( اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ )) فَقَالَ : (( إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِيْ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأّتِيْ قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هذَا وَأَكَلَ مَالَ هذَا وَسَفَكَ دَمَ هذَا وَضَرَبَ هذَا فَيُعْطَى هذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ إُخِذَ مِنْ خَطَايَا هُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِيْ النَّارِ ))

Mufradat Hadits ( Kosa Kata )
أَ                               : Apakah
 سَفَكَ - يَسْفِكُ               : Membunuh
 دَرَى – يَدْريْ              : Mengetahui
 ضَرَبَ – يَضْرِبُ         : Memukul
المُفْلِسُ                       : Orang yg bangkrut (pailit)
 فَنِيَ – يَفْنِيْ                 : Habis, hancur
دِرْهَمٌ                         : Uang
 خَطَايَا جمن خَطِيْـئَةٍ      : Dosa
مَتَاعٌ                          : Harta
طَرِحَ – يَطْرَحُ                         : Melempari
شَتَمَ _ يَشْتُمُ                 : Mencela
 قَضَى – يَقْضِيْ            : Memenuhi, melunasi

قَذَفَ – يَقْذِفُ               : Menuduh (berzina)

Artinya :
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut ( pailit ) itu ? Maka mereka( para sahabat ) menjawab : orang yang pailit di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan : orang yang pailit dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya) dia telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu dan telah memukul orang lain ( dengan tidak hak ), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, maka apabila kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya ( kepada orang lain ), maka kesalahan orang yang didzalimi di dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka.
(( HR. Muslim ))
Shahih al-Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shillah waa al-Adab, No :46 78)

Keterangan singkat :
Di dunia ini, mungkin banyak orang-orang yang merasa kuat dapat membebaskan diri mereka dari jeratan hukum akibat perbuatan dzalim mereka terhadap orang lain, baik berupa hutang, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan oleh Allah, mencaci maki orang lain dan sebagainya, namun tidak demikian dengan hukum dan keadilan yang Allah tegakkan di hari kiamat kelak, pada saat itu tidak seorang-pun yang dapat membebaskan diri dari kesalahannya selama di dunia yang dia tak pernah bertaubat dan menyesalinya, orang yang mereka dzalimi datang kehadapan Allah mengadukan kedzaliman orang tersebut sedang ia bergantung dengan kepala saudaranya sambil berkata :
“wahai Tuhan-ku tananyakan kepada orang ini ( yang telah membunuhku ) kenapa dia telah membunuhku di dunia ? dan sebagainya,” sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwasiat kepada ummatnya dengan sabdanya :
“Barangsiapa disisi ada perbuatan dzalim terhadap saudaranya, maka hendaklah ia meminta dihalalkan ( dimaafkan ) sekarang sebelum datang hari yang tidak berlaku pada saat itu emas atau perak. Sebelum diambil darinya kebaikannya untuk membayar kedzalimannya terhadap saudaranya, dan jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka dibebankan kepadanya keburukan saudaranya itu kepadanya.”
(H.R. Bukhari)
Oleh karena itu, segeralah kita membebaskan diri kita dari mendzalimi orang lain, penuhilah setiap yang mempunyai hak akan haknya, dan jangan menunggu hari hari esok karena tidak seorangpun yang mengetahui akan keberadaannya di esok hari.
Kandungan hadits :
Hadits ini menerangkan akan adanya pembalasan di hari kiamat. Orang yang mendzalimi saudaranya di dunia, sedang dia belum bertaubat dari kedzaliman tersebut dengan meminta maaf atau mengembalikan haknya, maka dia harus membayarnya dengan kebaikannya, dan apabila kebaikannya telah habis maka dosa orang yang didzalimi tersebut akan dibebankan kepadanya sampai semuanya terpenuhi.
Muflis adalah orang yang di akhirat nanti pahalanya habis untuk membayar kedzalimannya dan menerima limpahan dosa dari orang yang didzaliminya sebagai pembayaran atas kedzaliman yang dilakukannya ketika di dunia.






Hati-Hati Dengan Lisan
Saudaraku, seringkali lisan ini tergelincir mengucapkan kata-kata kotor, mencela orang lain, membicarakan orang lain padahal dia tidak senang untuk diceritakan, bahkan seringkali lisan ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kesyirikan dan kekufuran. Harusnya setiap muslim mengoreksi diri dalam setiap tingkah lakunya, apalagi dalam perkara lisannya, yang begitu enteng mengucapkan sesuatu karena keluar dari lidah yang tak bertulang.
Ingatlah saudaraku, setiap yang kita ucapkan, mencakup perkataan yang baik, yang buruk juga yang sia-sia akan selalu dicatat oleh malaikat yang setiap saat mengawasi kita. Seharusnya kita selalu merenungkan ayat berikut agar tidak serampangan mengeluarkan kata-kata dari lisan ini.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :
”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaaf [50] : 18).
Ucapan dalam ayat ini bersifat umum. Oleh karena itu, bukan perkataan yang baik dan buruk saja yang akan dicatat oleh malaikat, tetapi termasuk juga kata-kata yang tidak bermanfaat atau sia-sia.
(Lihat Tafsir Syaikh Ibnu Utsaimin pada Surat Qaaf)
Kita dapat melihat contoh ulama yang selalu menjaga lisannya bahkan sampai dalam keadaan sakit. Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih karena sakit yang dideritanya. Lalu ada yang berkata kepadanya (yaitu Thowus, seorang tabi’in yang terkenal),
“Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh malaikat).”
Setelah mendengar nasehat itu, Imam Ahmad langsung diam, tidak merintih. Beliau takut jika merintih sakit, rintihannya tersebut akan dicatat oleh malaikat.
(Silsilah Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 11/5)
Lihatlah saudaraku, bentuk rintihan seperti ini saja dicatat oleh malaikat, apalagi ketergelinciran lisan yang lebih dari itu.
Ibnu Mas'ud mengatakan, "Tidak ada yang lebih pantas dipenjara dalam waktu yang lama melainkan lisanku ini."
(Mukhtashor Minhajil Qoshidin, hal. 165, Maktabah Darul Bayan)
Di Antara Ketergilincaran Lisan :
1.    Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa
Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan! Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’.
Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti ini. Padahal makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci waktu, angin, dan hujan, pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Allah Ta'ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti’.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
”Janganlah kamu mencaci maki angin.”
(HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)
2.    Seringnya Berdusta
Hal ini juga sering dilakukan oleh kita saat ini. Dalam mu’amalah saja seringkali seperti itu. Hanya ingin mendapat untung yang besar, seorang tukang bangunan rela berdusta. Harga semennya sebenarnya 30 ribu, namun tukang tersebut mengatakan pada juragannya bahwa harganya 40 ribu.
Begitu juga dalam mendidik anak, seringkali juga muncul perkataan dusta. Ketika seorang anak merengek, menangis terus-terusan. Untuk mendiamkannya, sang Ibu spontan mengatakan, “Iya, iya, nanti Mama akan belikan coklat di warung. Sekarang jangan nangis lagi.” Setelah anaknya diam, ibunya malah tidak memberikan dia apa-apa. Kelakuan ibu ini juga secara tidak langsung telah mengajarkan anaknya untuk berdusta. Jadi jangan salahkan anaknya, jika dewasa nanti, anaknya malah yang sering membohongi orang tuanya.
Saudaraku, bentuk pertama dan kedua ini sama-sama berkata dusta. Ingatlah bahwa perbuatan semacam ini termasuk ciri-ciri kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tanda orang munafik itu ada tiga : jika berkata, dia dusta; jika berjanji, dia menyelisinya; dan jika diberi amanat, dia berkhianat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah di antara dua bentuk ketergelinciran lisan dan masih banyak sekali bentuk yang lainnya.
Berpikirlah Sebelum Berucap
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.”
(HR. Muslim)



Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan :
”Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.”
Itulah manusia, dia menganggap perkataannya seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang bukan sepele. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”
(QS. An Nur [24] : 15)
Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.
Dengan Lisan, Seseorang Bisa Ditinggikan Derajatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu.”
(HR. Bukhari)
Ketinggian derajat di sini bisa diperoleh jika lisan selalu diarahkan pada perkara kebaikan, di antaranya dengan berdo’a, membaca Al Qur’an, berdakwah di jalan Allah, mengajarkan orang lain di majelis ilmu dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, ketinggian derajat tersebut bisa diperoleh dengan mengarahkan lisan pada perkara-perkara yang Allah ridhoi.
(Lihat Nashihatu Linnisa’, hal. 20)
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjaga lisan ini dan mengarahkannya kepada hal-hal yang diridhoi oleh Allah. Amin Ya Mujibad Da’awat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

Lemah Lembutlah Dalam bertutur kata
Segala puji bagi Allah, Rabb yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. Semakin maju zaman, semakin manusia menjauh
dari akhlaq yang mulia. Perangai jahiliyah dan kekasaran masih meliputi sebagian kaum muslimin. Padahal Islam mencontohkan agar umatnya berakhlaq mulia, di antaranya adalah dengan bertutur kata yang baik. Akhlaq ini semakin membuat orang tertarik pada Islam dan dapat dengan mudah menerima ajakan. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita perangai yang mulia ini.
Perintah Allah untuk Berlaku Lemah Lembut Allah Ta'ala berfirman,

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. ”
(QS. Al Hijr: 88)
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “'Berendah dirilah' yang dimaksud dalam ayat ini hanya untuk mengungkapkan agar seseorang berlaku lemah lembut dan tawadhu' (rendah diri).”
(Adhwaul Bayan, Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, 3/238, Dar Ilmi Al Fawaid).
Jadi sebenarnya ayat ini berlaku umum untuk setiap perkataan dan perbuatan, yaitu kita diperintahkan untuk berlaku lemah lembut. Ayat ini sama maknanya dengan firman Allah Ta'ala,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
(QS. Ali Imron: 159).
Yang dimaksud dengan bersikap keras di sini adalah bertutur kata kasar.
(Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 3/233, Muassasah Qurthubah)
Dengan sikap seperti ini malah membuat orang lain lari dari kita.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini.”
(Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 3/232).
Keutamaan Bertutur Kata yang Baik
1.    Sebab Mendapatkan Ampunan dan Sebab Masuk Surga
Dari Abu Syuraih, ia berkata pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,


يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمِلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ
“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.”
Beliau bersabda,


إِنَّ مِنْ مُوجِبَاتِ الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ السَّلامِ، وَحُسْنُ الْكَلامِ
“Di antara sebab mendapatkan ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.”
(H.R. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir no. 469 (Maktabah Al 'Ulum wal Hikam, cetakan kedua, 1404 H). Al 'Iroqi dalam Takhrij Al Ihya' (2/246) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (1035) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan perowinya terpercaya).
2. Mendapatkan Kamar yang Istimewa di Surga Kelak
Dari 'Ali, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda :


لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ
“Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.”
(HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad (1/155). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
3.    Bisa menggantikan Sedekah
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Tutur kata yang baik adalah sedekah.”
(H.R. Ahmad (2/316) dan disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya secara mu'allaq (tanpa sanad). Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).


Dari 'Adi bin Hatim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Selamatkanlah diri kalian dari siksa neraka, walaupun dengan separuh kurma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka cukup dengan bertutur kata yang baik.”
(H.R. Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 1016)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tutur kata yang baik sebagai pengganti dari sedekah bagi yang tidak mampu untuk bersedekah.”
('Iddatush Shobirin wa Dzakhirotusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Mawqi' Al Waroq)
Ibnu Baththol mengatakan, “Tutur kata yang baik adalah sesuatu yang dianjurkan dan termasuk amalan kebaikan yang utama. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits ini) menjadikannya sebagaimana sedekah dengan harta. Antara tutur kata yang baik dan sedekah dengan harta memiliki keserupaan. Sedekah dengan harta dapat menyenangkan orang yang diberi sedekah. Sedangkan tutur kata yang baik juga akan menyenangkan mukmin lainnya dan menyenangkan hatinya. Dari sisi ini, keduanya memiliki kesamaan (yaitu sama-sama menyenangkan orang lain).”
(Syarh al Bukhari, Ibnu Baththol, 17/273, Asy Syamilah)
4.    Menyelematkan Seseorang dari Siksa Neraka
Dalilnya adalah hadits Adi bin Hatim di atas. Ibnu Baththol mengatakan, “Jika tutur kata yang baik dapat menyelamatkan dari siksa neraka, berarti sebaliknya, tutur kata yang kotor (jelek) dapat diancam dengan siksa neraka.”
(Syarh al Bukhari, 4/460)
5.    Dapat Menghilangkan Permusuhan
Ibnu Baththol mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta'ala,

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
(QS. Fushilat: 34-35).
Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.”
(Syarh al Bukhari, 17/273).
Sahabat yg mulia, Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- mengatakan, "Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini."
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243)
Berlaku Lemah Lembut Bukan Berarti Menjilat
Perlu dibedakan antara berlaku lemah lembut dengan tujuan membuat orang tertarik dan berlaku lembah lembut dengan maksud menjilat. Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu berlaku lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan tidak menjauh dari kita. Yang kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam rangka menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap tercela sebagaimana yang Allah firmankan,


وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).”
(QS. Al Qalam: 9)
Ibnu Jarir Ath Thobari menafsirkan ayat di atas, “Wahai Muhammad, orang-orang musyrik tersebut ingin kalian berlaku lembut pada mereka (dengan mengorbankan agama kalian) dengan memenuhi seruan untuk beribadah kepada sesembahan mereka. Jika kalian demikian, maka mereka akan berlaku lembut pada kalian dalam ibadah yang kalian lakukan pada sesembahan kalian.”
(Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, 23/157, Tahqiq: Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turki, Dar Hijr)
Oleh karenanya, orang yang bersikap mudaroh akan berlemah lembut dalam pergaulan tanpa meninggalkan sedikitpun prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian dari prinsip agamanya.
Hendaknya kita bisa memperhatikan perbedaan antara mudaroh dan mudahanah. Lemah lembut yang dituntunkan adalah dalam rangka membuat orang tertarik dengan akhlaq kita yang baik. Sikap pertama inilah yang akan membuat orang menerima dakwah, namun tetap dengan mempertahankan prinsip-prinsip beragama. Sedangkan lemah lembut yang tercela adalah jika sampai mengorbankan sebagian prinsip beragama dan mendiamkan kemungkaran tanpa adanya pengingkaran minimalnya dengan hati.
Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita tutur kata yang baik dan akhlaq yang mulia. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

B.  Saran
Penulis menyusun Makalah ini untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah Penddidikan Agama Islam I dengan pokok bahasan mengenai “Akhlak Kepada Sesama Manusia”, maka penulis akan menyampaikan saran sebagai berikut:
a.    Kita sebagai manusia jangan sekali-kali melakukan akhlak yang buruk, tetapi perbanyaklah melakukan akhlak yang baik;
b.    Sebagai orang muslim, kita harus berbuat baik terhadap sesama manusia yaitu kepada saudara, orang tua, kaum lemah dan tetangga. Walau pun kaum lemah dan tetangga itu bukan orang muslim atau berlainan agama.