Sabtu, 24 November 2012

BULAN MUHARRAM(SURO) BULAN SIAL?


BULAN MUHARRAM(SURO)
BULAN SIAL?

Sudah menjadi ‘keyakinan’ bagi sebagian masyarakat Indonesia –Jawa khususnya- bahwa bulan Muharram –atau bulan Suro dalam istilah Jawa- adalah bulan keramat. Pada tanggal-tanggal tertentu mereka menghentikan aktivitas-aktivitas yang bersifat hajatan besar, menghidari perjalanan jauh, sebab hari itu mereka anggap sebagai hari naas atau sial.
Bulan itu juga mereka takuti bagi pasangan yang hendak merencanakan pernikahan. Oleh karenanya mereka sangat menghindarinya dan memilih pernikahan dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Pasalnya, -menurut klaim mereka- pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Muharram kerap mendatangkan sial bagi pasangan, seperti perceraian, kematian, tidak harmonis, dililit utang, dsb. Budaya ini sudah mengakar sebagai warisan nenek moyang kita. Kami tidak tahu secara pasti ini dari mana sumbernya, tetapi mungkin saja sebagai pengaruh asimilasi budaya Hindu dan Islam yang ketika berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.
Mitos Bulan Suro dalam Timbangan
Sejatinya, mitos tersebut di atas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Batilnya mitos itu minimal bisa dipandang dari tiga tinjauan; tinjauan syariat Islam, sejarah dan sisi rasional.
1.      Tinjauan Syariat
Dari segi syariat, bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan termasuk dalam golongan 4 bulan istimewa yang diharamkan Allah.
            Disunnahkan untuk memperbanyak puasa di bulan ini. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah; Muharram. Dan shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam.”
(HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah).
Terlebih lagi berpuasa di tanggal sepuluh dari bulan ini, ditambah dengan tanggal sembilan atau sebelas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berharap pada Allah agar puasa di hari ‘Asyura’ (tanggal sepuluh bulan Muharram) bisa menghapuskan dosa satu tahun lalu.”
(HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Qatadah).
            Sedangkan yang dilarang oleh syariat di bulan ini adalah melakukan peperangan kecuali apabila umat Islam diperangi. Termasuk diharamkan pula perbuatan-perbuatan menzalimi diri sendiri. “Perbuatan maksiat di bulan ini dilipatgandakan dosanya.” Apalagi jika maksiat tersebut bernuansa syirik dan khurafat, seperti keyakinan bahwa bulan ini adalah bulan sial.
            Meyakini adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Allah ciptakan, dan itu beresiko mencela Allah yang menciptakannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela dahr(waktu) karena Allah itu adalah dahr.”
(HR. Muslim (XV/6 no.5827) dari Abu Hurairah).
            Maksudnya bahwa Allah adalah pencipta waktu, sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang menjadi penafsir hadist di atas. Dan mencela ciptaan Allah beresiko mencela Penciptanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ‘Azza wa jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr(waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang”.
(HR. Bukhari (hal.1034 no. 5827) dan Muslim (XV/5 no. 5824) dari Abu Hurairah).
            Hari, bulan dan tahun yang Allah ciptakan semuanya baik, tidak ada yang sial atau naas. Sesungguhnya kesialan, kecelakaan adalah bagian dari takdir Allah, yang tidak diketahui hamba-Nya kecuali setelah terjadi. Allah bisa menimpakan kesialan atau kenaasan kepada siapapun, di manapun dan kapanpun, bila Allah menghendakinya. Dan hamba harus rela menerima takdir tersebut.
            Perlu diketahui pula bahwa mengkambinghitamkan waktu sebagai penyebab kesialan suatu usaha, sejatinya merupakan mitos masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka sering berkumpul di berbagai kesempatan untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal dan terkadang dalam perbincangan mereka terlontar ucapan-ucapan yang mempersalahkan waktu sebagai penyebab kesialan usaha mereka, atau manakala mereka ditimpa berbagai musibah lainnya.
            Disamping itu, keyakinan adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk thiyarah atau tasya’um (menganggap sial sesuatu) yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ia merupakan kesyirikan yang biasa dilakukan oleh kaum Jahiliyah sebelum Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah adalah kesyirikan (beliau mengulanginya 3x).”
(HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Ibnu Hibban dan al-Albany).
            Kemudian perlu diketahui juga bahwa tidak ada larangan melakukan aktifitas yang mubah di bulan Muharram, apalagi yang bernuansa ibadah, semisal pernikahan.
2.      Tinjauan Sejarah
Pada bulan ini pula –tepatnya tanggal 10 bulan Muharram- Nabi Musa ‘Alaihis salam selamat dari kejaran tentara Fir’aun. Ibnu ‘Abbas mengisahkan, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian sekarang sedang berpuasa?” Maka mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung dimana Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa bersama kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari itu untuk mensyukurinya, kemudian kami mengikutinya.” Rasulullah pun bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa dari pada kalian”. Kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para Shahabatnya untuk berpuasa pula”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
            Kisah ini menuturkan kejadian suka-cita, bukan duka-cita, apalagi kisah kesialan. Jadi, menganggap bulan Muharram sebagai bulan naas tidak ada landasan sejarah yang membenarkannya. Karena pada bulan ini justru kita mendapatkan anugerah yang sangat tinggi, wajarlah jika kemudian kaum muslimin mensyukurinya dengan berpuasa tanggal 10 Muharram.
3.      Tinjauan Produktifitas Amal
Secara rasional, tidak dipergunakannya sebuah hari -lebih- lebih sebulan- untuk melakuan aktifitas sebagaimana layaknya, tentu akan mengurangi produktifitas kerja atau amal. Ketika pada hari itu semestinya bisa dimanfaatkan misalnya untuk melakukan perjalanan pulang kampung, atau berangkat ke tempat kerja, pendidikan, silaturrahim atau hal-hal lain yang sangat bermanfaat, maka semuanya harus ditunda besok harinya atau harus buru-buru dilakukan sehari sebelumnya.
            Masyarakat cenderung memahami naasnya suatu usaha hanya pada masalah-masalah duniawiyah. Takut kecelakaan, takut bangkrut, takut miskin dan takut mati. Ini menunjukkan bahwa orientasi kerja mereka hanya semata-mata hasil yang bagus, sementara mereka tidak siap untuk menerima kerugian, apalagi sampai pada tingkat kematian; karena mereka memang tidak cukup bekal amal untuk itu. Padahal semua manusia pasti mengalaminya. Dan yang jelas waktunya tidak mesti pada bulan Muharram, melainkan di semua bulan manusia bisa mendapatkan keberuntungan maupun kerugian. Tidak ada satu pun penelitian yang menghasilkan data bahwa pada bulan Muharram angka kecelakaan meningkat, rasio kematian paling tinggi, kasus perceraian paling banyak, dsb. Apakah dengan menghindari bulan ini dari melakukan aktifitas tertentu lantas dijamin bebas dari masalah? Tentu tidak jawabannya, sekali lagi semua tergantung dari usahanya dan taufiq dari Allah Ta’ala, bukan waktu naas atau mujurnya.

Kita kan Masyarakat Jawa?!
Manakala dipaparkan keterangan di atas, barangkali akan ada sebagian kalangan yang berdalih, “Walaupun beragama Islam, namun kita kan tinggal di tanah Jawa, jadi tidak etis jika kita tidak mengikuti atau menghormati adat istiadat masyarakat Jawa!.”
Jawabannya: Allah telah memerintahkan dalam al-Qur’an agar kita bertotalitas dalam berislam. Kata Allah (yang artinya): “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok(akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”.
(QS. Al-Hasyr:18).
Wallahu ‘alam...

Referensi:
Buletin Jum’at al-Hikmah Edisi 23 Tahun I, November 2012, Ust. Abdullah Zaen, Lc. MA.

HATI YANG SEHAT & HATI YANG SAKIT


HATI YANG SEHAT & HATI YANG SAKIT

Wahai Saudaraku yang dirahmati oleh Allah ‘azza wa jalla, ketahuilah bahwa peran hati bagi seluruh anggota badan ibarat raja bagi para prajuritnya. Semua bekerja berdasarkan perintahnya. Semua tunduk dibawah kekuasaannya. Karena perintah hatilah, ketaatan serta penyelewengan dan penyimpangan itu ada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, didalam tubuh itu ada segumpal daging, bila ia baik, maka baik pulalah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah hati.
(HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Hati adalah raja. Seluruh anggota badan adalah pelaksana segala yang diperintahkannya. Aktivitasnya tidak dinilai benar jika tidak diniatkan dan dimaksudkan oleh hati, sang raja. Akan tetapi, dikemudian hari, hati akan ditanya tentang para prajuritnya, sebab setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya.
Maka dari itu, berbagai upaya untuk meluruskan serta mensucikan hati merupakan salah satu perkara yang menjadi perhatian para ulama dan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah ‘azza wa jalla. Demikian pula melakukan pengkajian atas berbagai penyakit-penyakit hati serta metode untuk mengobatinya merupakan salah satu bentuk ibadah yang utama bagi para ahli ibadah.
Macam-Macam Hati
Hati seseorang bisa hidup dan mati. Oleh karenanya, hati manusia dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok dilihat dari kondisinya, yaitu:
1.      Hati yang Sehat
2.      Hati yang Mati
3.      Hati yang Sakit
Pertama, hati yang sehat.
Yaitu hati yang selamat. Barangsiapa pada hari kiamat –menghadap Allah ‘azza wa jalla tanpa membawa hati yang sehat, maka dia akan celaka. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya): “Adalah hari, yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat sama sekali, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat”.
(QS. Asy-Syua’ra:88-89).
Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari berbagai syahwat, terbebas dari keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah ‘azza wa jalla, dan terbebas dari belenggu syubhat, yaitu ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati yang sehat adalah hati yang tidak pernah beribadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla dan berhukum kepada selain Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ibadahnya murni kepada Allah ‘azza wa jalla semata.
Kedua, hati yang mati.
Yaitu hati yang tidak mengenal siapa Rabb-nya. Ia tidak beribadah kepada-Nya, enggan menjalankan perintah-Nya, dan enggan untuk melakukan sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Hati seperti itu selalu berjalan bersama dengan hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai Allah. Ia tidak peduli kepada keridhaan dan kemurkaan Allah ‘azza wa jalla.
Ketiga, hati yang sakit.
Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat yang sedang bergejolak didalamnya. Kadang-kadang ia cenderung kepada kebaikan, dan kadang-kadang pula cenderung kepada kehancuran. Padanya terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah, yang merupakan sumber kehidupan. Namun padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad, sifat sombong, dan sifat ujub (tinggi hati), yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Hati jenis ini senantiasa berada di antara dua penyeru; penyeru kepada Allah, Rasul, hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi.
Indikasi Sakit dan Sehatnya Hati
Hati seseorang bisa sakit. Di antara tanda sakitnya hati adalah keengganan mengonsumsi “makanan” yang bermanfaat. Hati yang sehat selalu mengutamakan “makanan” yang bermanfaat daripada racun yang mematikan. Makanan yang terbaik bagi hati seseorang adalah keimanan. Dan obat yang terbaik bagi hati yang sakit adalah al-Qur’an.
Sedangkan tanda sehatnya hati adalah “kepergiannya dari kehidupan duniawi menuju ukhrawi. Di dunia ini, ia diibaratkan bagai orang asing yang mengambil kebutuhannya, lalu kembali kepada negerinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Abdullah bin Umar, “Di dunia ini, hendaknya kamu berlaku seperti orang asing, atau orang yang sekedar lewat.”
(HR. Bukhari)
Empat Racun Hati
Ketahuilah wahai saudaraku sekalian bahwa setiap kemaksiatan adalah racun bagi hati. Ia menjadi penyebab sakit dan kehancurannya. Yang dimaksud dengan empat racun hati adalah:
1.      Banyak bicara
2.      Banyak makan
3.      Banyak memandang
4.      Banyak bergaul
Racun Pertama, banyak bicara.
Abu Hurairah meriwayatkan, “Yang paling banyak menjerumuskan manusia kedalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.”
(HR. at-Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Bencana lisan yang paling sedikit mudharat (dampak buruk) nya adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak berfaedah (bermanfaat). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merupakan kebaikan keislaman seseorang, jika ia meninggalkan sesuatu yang tidak berfaedah baginya.”
(HR. at-Tirmidzi, Ahmad).
Racun Kedua, banyak makan.
Sedikit makan dapa melembutkan hati, menguatkan daya piker, membuka diri, serta melemahkan hawa nafsu dan sifat marah. Sedangkan banyak makan akan mengakibatkan kebalikannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada bejana yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak bisa, maka sepertiga dari perutnya diisi untuk makannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk nafasnya.”
(HR. Ahmad, at-Tirmidzi).
Racun Ketiga, berlebihan dalam bergaul.
Ketika bergaul, ada baiknya bagi kita untuk dapat mengklasifikasikan manusia menjadi empat macam. Ketidakmampuan kita membedakan masing-masing kelompok akan membawa bencana dan kerugian bagi diri kita sendiri.
1.      Kelompok yang apabila bergaul dengan mereka diibaratkan seperti mengonsumsi makanan yang bergizi. Ia begitu dibutuhkan siang dan malam. Jika seseorang telah menyelesaikan keperluannya, ia ditinggal, dan jika diperlukan lagi, maka ia didatangi. Mereka itu adalah para Ulama, orang-orang yang setia kepada Allah ‘azza wa jalla, kepada Kitab-Nya, dan kepada Rasul-Nya. Bergaul dengan mereka merupakan sebuah keuntungan yang nyata.
2.      Kelompok yang apabila bergaul dengan mereka diibaratkan seperti mengonsumsi obat. Ia dibutuhkan dikala sakit. Selama anda sehat, anda tidak perlu bergaul dengan mereka. Mereka adalah professional dalam urusan muamalat, bisnis, dan berbagai urusan kehidupan duniawi.
3.      Kelompok yang jika kita bergaul dengan mereka diibaratkan sebagaimana mengkonsumsi penyakit. Bergaul dengan mereka tidak membawa keuntungan sedikitpun, baik keuntungan dunia mapun keuntungan akhirat.
4.      Kelompok yang jika bergaul dengan mereka diibaratkan kita sedang menggapai sebuah pintu kebinasaan. Mereka ibarat racun. Mereka adalah penyeru kepada jalan kesesatan, serta penghalang dari sunnah Rasulullah. Seorang yang berakal tidaklah pantas bergaul dan berteman dengan mereka. Kalaupun itu dilakukan, niscaya hatinya akan sakit, bahkan mati.
Racun Keempat, banyak memandang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pandangan itu adalah panah beracun iblis. Barangsiapa menundukkan pandangannya karena Allah, Dia akan memberikan kepadanya kenikmatan dalam hatinya yang akan ia rasakan sampai bertemu dengan-Nya.”
(HR. At-Thabrani, al-Hakim, dan Ahmad)
Al-Imam al-Baihaqy menjelaskan bahwa maksudnya adalah pandangan yang jatuh kepada wanita (bukan mahram, red) yang tidak sengaja (dilihat, red) kemudian ia berpaling dalam rangka wara’ (menjauh dirinya dari hal-hal yang meragukan)
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa masuknya setan ketika seseorang memandang melebihi kecepatan aliran udara ke ruang hampa. Setan akan menjadikan wujud yang dipandangnya seakan-akan indah, lalu akan menjadikannya sebagai berhala tautan hati, kemudian mengobral janji dan angan-angan. Lalu setan akan menyalakan api syahwat, dan ia lemparkan kayu bakar maksiat. Barangsiapa yang membiarkan pandangannya bebas lepas, berarti telah memasukkan kegelapan ke dalam hatinya. Sebagaimana bagi orang-orang yang menundukkan pandangannnya karena Allah Ta’ala diibaratkan memasukkan cahaya ke dalam hatinya. Bila hati telah bersinar, berbagai amal kebaikan akan berdatangan dari berbagai penjuru untuk dilaksanakan. Dan bilamana hati telah diliputi oleh kegelapan, berbagai bencana dan keburukan pun akan berdatangan dari berbagai tempat. Wal ‘iyadzubillah.
Wallahu Ta’ala ‘Alam Bisshawab.
Referensi:
Tazkiyatun Nufus Wa Tarbiyatuha Kama Yuqarriruhu ‘Ulama As-Salaf, Syaikh DR. Ahmad Farid, tahqiq Majid bin Abi Al-Lain, cetakan Darul Qalam Beirut.
Penulis:
Ust. Yasir Abu Yasir, MA. (pengasuh situs dakwah www.mutiaraHikmah.com)

Jumat, 09 November 2012

Apa Kata Imam Sayafi’i Tentang Meluruskan & Merapatkan Shaf Shalat Berjama’ah?


Apa Kata Imam Sayafi’i Tentang Meluruskan & Merapatkan Shaf Shalat Berjama’ah?

Sayyid al-Bakri, pengarang kitab Hasyiyah I’anatuth Thalibin (II:22-13) menyatakan:
وَمِنَ السُّنَنِ المُهۡمَلَةِ المَغۡفُولِ عَنۡهَا: تَسۡوِيَةُ الصُّفُوفِ وَالتَّرَاصُ فِيهَا، وَقَدۡ كَانَ عَلَيۡهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ يَتَوَلَّى فِعۡلَ ذَلِكَ بِنَفۡسِهِ، وَيَكۡثُرُ التَّحۡرِيضُ عَلَيۡهِ وَالۡأَمۡرُبِهِ، وَيَقُولُ: ((لَتُسَوُنَّ صُفُوفَكُمۡ! أَوۡ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ)). وَيَقُولُ: ((إِنِّي لأَرَاى الشَّيَاطِينَ، تَدۡ خُلُ فِي خَلَلِ الصُّفُوفَ))؛ يَعۡنِي بِهَا: الفُرَجُ الَّتِي تَكُونُ فِيهَا. فَيُسۡتَحَبُّ إِلصَاقُ المَنَا كِبِ مَعَ التَّسۡوِيَةِ، بِحَيۡثُ لاَ يَكُونُ أَحَدٌ مُتَقَدِّمًا عَلَى أَحَدٍ، وَلاَ مُتَأَخِّرًا عَنۡهُ، فَذَلِكَ هُوَ السَّنَّةُ ..
فَعَلَيۡكَ- رَحِمَكَ اللهُ تَعَالَى- بِالۡمُبَادَرَةِ إِلَى الصَّفِّ الۡأَوَّلِ، وَعَلَيۡكَ بِرَصِّ الصُّفُوفِ، وَتَسۡوِيَتِهَا مَا اسۡتَطَعۡتَ، فَإِنَّ هَذِهِ سُنَّةٌّ مُثۡبَتَةٌ مِنۡ سُنَنِ رَسُولِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم، مَنۡ أَحۡيَاهَا كَانَ مَعَهُ فِي الجَنَّةِ، كَمَا وَرَدُ.
Artinya:
Dan diantara Sunnah yang diremehkan dan ditinggalkan adalah: Meluruskan dan merapatkan shaf. Padahal beliaulah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم yang langsung memerintahkan kepada hal itu, dan beliau langsung mengerjakannya sendiri, seringkali beliau صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم mengulang-ngulang memerintahkan hal itu, dimana beliau صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم bersabda: Hendaklah kamu benar-benar meluruskan barisan (shaf shalat)mu, atau (kalau tidak: maka) nanti Allah akan jadikan perselisihan di antara hati-hati kamu. Dan beliau صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم juga telah bersabda: “Sesungguhnya aku melihat setan telah masuk melalui sela-sela shaf (yang kosong).”; maksudnya adalah mengisi kekosongan yang terdapat di shaf. Maka disukai untuk merapatkan bahu-bahu kita dengan bahu yang ada di sebelah kita, sekaligus dengan meluruskannya, sehingga tidak lagi terlihat ada seorangpun yang bediri tidak sejajar dengan yang ada di sebelahnya, dan itulah yang sesuai dengan Sunnah Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم.
Maka hendaklah kamu-semoga Allah Merahmatimu- bergegas untuk menempati shaf pertama, dan hendaklah engkau juga merapatkan shaf serta meluruskannya semampu mungkin, karena sesungguhnya semua hal itu termasuk Sunnah yang telah ditetapkan dari Sunnah-sunnah Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم (yang telah mati); maka barangsiapa yang menghidupkan kembali Sunnah ini, ganjarannya dia akan berdampingan bersama beliau صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم di surga.[1]
Kenyataan pahit yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin adalah bila ada seorang muslim yang hendak mengamalkan Sunnah Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم dalam hal meluruskan, merapihkan dan merapatkan shaf, maka seringkali hal itu diingkari oleh sebagian yang lain. Hal ini persis seperti yang disebutkan oleh Anas bin Malik رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ , dimana ia pernah ditanya oleh seorang Tabi’in tentang hal apa yang diingkari olehnya pada zaman itu, maka ia menjawab:
((مَا أَنۡكَرۡتُ شَيۡىًٔا إِلاَّ أَنَّكُمۡ لاَتُقِيمُونَ الصُّفُوفَ)).
Artinya: Aku tidak mengingkari sesuatu dari kamu, melainkan bahwa kamu tidak meluruskan shaf.[2]
Anas bin Malik صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم juga menyatakan:
((وَلَوۡ ذَهَبۡتَ تَفۡعَلُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ اليَوۡمَ؛ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بَغۡلٌ شُمُوسُ)).
Artinya: Seandainya saja saat ini kamu mengamalkan (Sunnah merapatkan shaf dengan merapatkan bahu dan kaki) kepada salah seorang dari mereka; pastilah kita akan dapati orang itu lari darimu, seperti halnya seekor baghal[3] liar.[4]

Imam Ghazali telah menyatakan di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin (I:227):
مَسۡأَلَةٌ: حَقَّ عَلَى مَنۡ حَضَرَ الصَّلاَةَ إِذَ رَأَى مَنۡ غَيۡرِهِ إِسَاءَةً فِي صَلاَتِهِ؛ أَنۡ يُغَيِّرَهُ وَيُنۡكِرَ عَلَيۡهِ، وَإِنۡ صَدَرَا مِنۡ جَا هِلٍ؛ رَفَقَ بِالۡجَاهِلِ وَ عَلَّمَهُ. فَمِنۡ ذَلِكَ: الأَمۡرُ بِتَسۡوِيَةِ الصُّفُوفِ وَمَنۡعُ المُنۡفَرِدِ بِالۡوُقُوفِ خَارِجَ الصَّفِّ.
Masalah: Wajib hukumnya bagi siapa saja yang menghadiri shalat berjama’ah, bila dia melihat kesalahan dari yang lain untuk merubah dan mengingkarinya. Bila hal itu dilakukan oleh seorang yang jahil, maka harus dengan sikap lemah lembut, kemudian dia mengajarinya. Dan diantaranya adalah: Memerintahkan jama’ah untuk meluruskan dan merapihkan shaf dan melarang bila ada seorang yang berdiri sendirian di belakang shaf.
Sayangnya, seringkali orang-orang yang hendak menegakkan Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam berdasarkan apa yang telah difatwakan oleh para ulama dituduh dengan berbagai macam tuduhan, dari tuduhan “membuat ajaran baru” dan tuduhan-tuduhan yang lainnya. Padahal orang-orang yang menuduh itulah yang sebenarnya jauh dari petunjuk kebenaran. Tetapi karena kebodohan yang begitu merasuk di dalam diri mereka, sehingga hal itu membuat mereka harus menentang kebenaran yang sangat jelas dan gamblang, ditambah lagi sifat sombong yang ada pada mereka, Allahul Musta’an.


Hadist-Hadist Seputar Masalah Shaf
Di bawah ini akan saya bawakan beberapa hadist yang telah dibawakan oleh dua orang pembesar ulama syafi’iyyah, yaitu Imam asy-Syirazi dan Imam an-Nawawi, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab(IV:109-110):

Hadist ke-1:
عَنْ أَنَسِ قَالَ؛قَالَ رَسُلُوْ لُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم:
((إِعْتَدِلُوْا فِى صُفُو فِكُمْ ٬ وَتَرَا صُوْا ٬ فَإِنَّي أَرَا كُمۡ مِنۡ وَرَاءِ ظَهۡرِي)) ٬ قَالَ أَنَسٌ: ((فَلَقَدۡ رَأَيۡتُ أَحَدَنَا يُلۡزِقُ مَنۡكِبَهُ بِمَنۡكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ)).
Artinya:
Dari Anas, ia berkata:
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Luruskanlah shafmu, dan hendaknlah kamu merapatkannya, karena sesungguhnya aku dapat melihatmu dari belakang punggungku”
Anas berkata:
Dan saya melihat bahwa para Shahabat saling merapatkan bahu-bahu mereka dengan bahu yang ada di sebelahnya, dan mereka juga merapatkan kaki-kaki mereka dengan kaki yang ada di sebelahnya.[5]
Setelah Imam Nawawi mensyarah hadist yang dibawakan oleh Imam Syirazi diatas, maka beliau menyatakan:
فَرعٌ: فيِ جُمۡلَةٍ مِنَ الۡأَ حَادَيثِ الصَّحِيحَةِ فِي الصُّفُوف:
Sub pembahasan:
(Yang berisi keterangan tentang) sejumlah hadist shahih yang terkait dengan (merapikan dan meluruskan) shaf:

Hadist ke-2:
عَنۡ أَنَسِ قَالَ٬ قَالَ رَسُلُوْ لُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم:
((سَوُّواصُفُوفَكُمۡ! فَإِنَّ تَسۡوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنۡ تَمَامِ الصَّلاَةِ)).
رواه البخاري ومسلم.
وَفِيرِوَايَةٍ لِلۡبُخَارِيِّ: ((فَإِنَّ تَسۡوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنۡ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ)).
Artinya:
Dari Anas, ia berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam telah bersabda:
“Luruskan shafmu! Karena sesungguhnya meluruskan shaf itu termasuk dari hal yang dapat menyempurnakan shalat.”
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.[6]
Dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan (sebagai berikut): “…karena sesungguhnya meluruskan shaf itu termasuk dari mendirikan shalat.”
Kemudian Imam an-Nawawi رحمه الله menyatakan:
مَعۡنَاهُ: مِنۡ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ الَّتِي أَمَرَ اللهُ تَعَالَى بِهَا فِي قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأَقِيمُو الصَّلَوٰةَ﴾
Maknanya adalah: Termasuk ke dalam hal “mendirikan shalat” sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala didalam firman-Nya:
“Dan dirikanlah shalat” [QS.Al-Baqarah(2):43] (yakni: dengan cara meluruskan serta merapatkan shaf). 

Hadist ke-3:
وَعَنۡ أَبِي مَسۡعُودٍ البَدۡرِي قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم يَمۡسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاَةِ؛ وَيَقُولُ: ((إِسۡتَوُوا وَلاَ تَخۡتَلِفُوا فَتَخۡتَلِفَ قُلُوبُكُمۡ)).
رواه مسلم.
Artinya: Dari Abu Mas’ud al-Badri, ia berkata:
Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam biasa mengusap bahu-bahu kami, ketika akan memulai shalat, seraya beliau bersabda; “Luruskan shafmu, dan janganlah kamu berantakan dalam shaf; sehingga hal itu membuat hati kamu juga akan saling beselisih.”
Diriwayatkan oleh Muslim.[7]

Hadist ke-4:
وَعَنِ النُّعۡمَانَ بۡنُ بَشِيرٍ قَالَ: سَمِعۡتُ رَسُوۡلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم يَقُولُ:
((لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمۡ أَوۡ لَيُخَاللِفَنَّ اللهُ بَيۡنَ وُجُوهِكُم)).
رواه البخاري و مسلم.
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسۡلِمٍ: كَانَ تُ رَسُوۡلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم يُسَوِّي صُفُوفَنَا٬ حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا القِدَاحَ٬ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدۡ عَقَلۡنَا عَنۡهُ٬ ثُمَّ خَرَجَ يَوۡمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ٬ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدۡرُهُ مِنۡ الصَّفَّ؛ فَقَالَ: ((عِبَادَاللهُ! لَتُسَوُّنَّ صُفُوفِكُمۡ أَوۡ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيۡنَ وُجُوهِكُمۡ)).
Artinya: Dan dari Nu’man bin Basyir, ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda: Hendaklah kamu benar-benar meluruskan shafmu, atau (kalau tidak; maka) Allah akan jadikan perselisihan di antaramu.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.[8]
Dan dalam salah satu riwayat Muslim (disebutkan sebagai berikut): Bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam biasa meluruskan shaf shalat kami, seakan-akan beliau meluruskan busur panah yang lurus, sehinggga beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam tahu bahwa kami telah memahami perintah beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam untuk meluruskan dan merapatkan shaf itu. Pada suatu hari ketika beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam keluar dari rumahnya untuk mengimami kami shalat, dan beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam sudah hampir akan bertakbir, maka beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam melihat seorang laki-laki (dari kami) yang tidak meluruskan shafnya dengan memajukan dadanya dari yang ada di sebelahnya di shaf itu; maka beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda: Wahai hamba-hamba Allah! Kamu harus benar-benar meluruskan shafmu, atau (bila tidak) maka Allah akan menjadikan hati-hatimu berselisih.

Hadist ke-5:
وَعَنۡ الۡبَرَاءِ بۡنُ عَازِبٍ قَالَ: كاَنَ رَسُولُاللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ، مِنۡ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ، يَمۡسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا؛ وَيَقُولُ: ((لاَتَخۡتَلِفُوا؛ فَتَخۡتَلِفَ قُلُوبَكُمۡ)).
وَكَانَ يَقُولُ: ((إِنَّ اللهَ وَمَلاَىِٔكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ)).
رواه أبو داود بِإِسۡنَادٍ حَسَنٍ.
Artinya: Dan dari Bara bin ‘Azib, ia berkata: Bahwa Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم masuk menyela-nyela diantara shaf, dari bagian yang satu ke bagian yang lainnya, dan beliau juga biasa mengusap dada dan bahu kami (agar kami meluruskan shaf) seraya beliau صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم  bersabda: “Janganlah kamu berantakan dalam shaf, sehingga hal itu membuat hati kamu juga saling berselisih.”
Dan beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah bersama para Malaikat-Nya bershalawat untuk orang-orang yang shalat di shaf pertama.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan.[9]

Hadist ke-6:
وَعَنۡ ابۡنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ: ((أَقِيۡمُوۡا الصُّفُوفَ! وَحَاذَوا بَيۡنَ المَنَاكِبِ وَسُدُّوا الخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيۡدِي إِخۡوَانِكُمۡ، وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَيۡطَانِ، وَمَنۡ وَصَلَ صَفَّا؛ وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنۡ قَطَعَ صَفَّا، قَطَعَهُ اللهُ)).
رواه أبو داود بإسۡناد صحيح.
Artinya: Dan dari ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم telah bersabda:
Luruskanlah shaf-shafmu! Sejajarkan antara bahumu (dengan bahu saudaranya yang berada di samping kanan dan kiri), isilah bagian yang masih renggang, berlaku lembutlah terhadap tangan saudaramu (yang hendak mengisi kekosongan atau kelonggaran shaf), dan janganlah kamu biarkan kekosongan yang ada di shaf untuk di isi oleh setan. Dan barangsiapa yang menyambung shaf; pastilah Allah akan menyambungnya, sebaliknya barangsiapa yang memutuskan shaf; pasti Allah akan memutuskannya.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih.[10]

Hadist ke-7:
وَعَنۡ أَنَسِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ: ((رَصُّوا صُفُوفَكُم، وَقَارِبُوا بَيۡنَهَا، وَحَاذُوا بَيۡنَ المَنَاكِبِ بِالۡأَعۡنَاقِ، فَوَالَّذِي نَفۡسِي بِيَدِهِ! إِنِّي لأَرَى شَيۡطَانَ يَدۡخُلُ مِنۡ خَلَلِ الصَّفّ! كَأَنَّهُ الحَذَفُ)).
حديث صحيح رواه أبو داود بإسۡناد صحيحٍ على شرۡط مسۡلم.
Artinya: Dari Anas Radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم telah bersabda:
Rapatkanlah shafmu, dan hendaklah kamu saling berdekatan, sejajarkanlah bahu-bahumu dengan (meluruskan) leher-lehermu. Demi (Allah) Yang Jiwaku berada di Tangan-Nya sesungguhnya aku melihat setan masuk melalui shaf yang kosong, seakan-akan setan itu seekor anak kambing hitam yang kecil.
Hadist shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih berdasarkan persyaratan Imam Muslim.[11]

Hadist ke-8:
وَعَنۡهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ: ((أَتِمُّوا الصَّفَّ المُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ، فَمَا كَانَ مِنۡ نَقۡصٍ؛ فَلۡيَكُنۡ فِي الصَّفِّ المُؤَخَّرِ)).
رواه أبوداود بإسۡناد حسن.
Artinya: Dari Anas, bahwasanya Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم bersabda:
Sempurnakanlah terlebih dahulu shaf pertama, bila tempat tidak memadai, maka disambung dengan shaf yang berikutnya, bila ada kekurangan, maka tempatnya di shaf yang terakhir.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan.[12]
Kemudian Imam an-Nawawi menyatakan:
وَفِي البَبِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ، غَيۡرَ هَذِهِ، وَفِي هَذِهِ كِفَايَةٌ.
Artinya: Dan dalam masalah ini, masih banyak lagi hadist-hadist shahih yang lain, akan tetapi apa yang telah saya bawakan di atas sudah cukup.
Itulah beberapa hadist yang telah disebutkan oleh Imam Syirazi dan Imam Nawawi, dan saya kira itu semua cukup bagi siapa saja yang ingin mencari kebenaran, wallahul hadi ila sawaa-is sabil.۩

Referensi:
Apa Kata Imam Sayafi’i Tentang Meluruskan & Merapatkan Shaf Shalat Berjama’ah?, Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Muraja’ah: Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta Selatan.



[1] Beliau mengisyaratkan kepada hadist Anas رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ :
((مَنۡ أَحۡيَا سُنَّتِي فَقَدۡ أَحَبَّنِي، وَمَنۡ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الجَنَّةِ))
Artinya: Barangsiapa yang menghidupkan Sunnahku; maka dia telah mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku; maka ia akan bersamaku di surga.
Akan tetapi hadist tersebut Dha’if(lemah): Lihat: Dha’iful Jami’ no:5360 dan adh-Dha’ifah no:4538.
[2] Shahih: Bukhari no:724
[3] “Baghal” adalah jenis hewan percampuran kuda dengan keledai, lihat al-Mu’jamul Wasith (I:64).
[4] Shahih: Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan al-Isma’ili, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari (II:448); lihat pula ash-Shahihah (I:71).
[5] Muttafaq ‘Alaihi: Bukhari no.725 dan Muslim no.434, akan tetapi lafazhnya agak sedikit berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Imam Syirazi di atas.
[6] Muttafaq ‘Alaihi: Bukhari dan Muslim no:723 dan Muslim no:433
[7] Shahih: Muslim no:432
[8] Muttafaq ‘Alaihi: Bukhari no:717 dan Muslim no:436.
Hadist ini juga telah diriwayatkan oleh Abu Dawud no:662 dan Ahmad (IV:276) secara lengkap, setelah membawakan hadist di atas, maka Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata:
((فَرَأَيۡتُ الرَّجُلَ يَلۡزَقُ بِمَنۡكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكۡبَتَهُ بِرُكۡبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعۡبَهُ بِكَعۡبِهِ))
Artinya: Maka saya (Nu’man bin Basyir) melihat seorang laki-laki (dari para Shahabat) menempelkan bahunya ke bahu yang ada di sampingnya, dan lututnya dengan lutut yang ada di sampingnya serta mata kakinya dengan mata kaki yang ada di sampingnya.
Pernyataan Nu’man bin Basyir ini juga telah disebutkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya (II:447- Fat-hul Bari).
[9] Shahih: Abu Dawud no:664, dan telah dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud (I:197) no:664 dan Shahihut Targhib no:499.
[10] Shahih: Abu Dawud no:666, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, Nawawi dan al-Albani. Lihat Fat-hul Bari (II:447) dan Shahihut Targhib Wa Tarhib no:492.
[11] Shahih: Abu Dawud no:667, Nasaa’i (II:92) dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya no:1545, dan telah dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no:667, Shahih Nasaa’i no:814, Shahihut Targhib no:491 dan Tahqiq Misykatil Mashabih no:1093.

[12] Shahih: Abu Dawud no:671, Nasaa’i (II:93), dan telah dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud (I:198) no:671, Shahih Nasaa’i no:817, Shahihul Jami no:122 dan Tahqiq Misykat no:1094.