Kamis, 16 Agustus 2012

Mengulang Shalat Bagi Seorang Qari[1] Yang Bermakmum Kepada Imam Yang Ummi atau Lahhan[2]


Mengulang Shalat Bagi Seorang Qari[1] Yang Bermakmum Kepada Imam Yang Ummi atau Lahhan[2]

Yang dimaksud dengan ummi atau lahhan disini adalah orang yang tidak bisa membaca al-Qur'an dengan baik dan benar.[3]
Menurut madzhab asy-Syafi’iyah, Hanbali dan pendapat al-Auza’I, ummi itu adalah orang yang tidak mampu membaca al-Fatihah dengan sempurna atau salah mengucapkan hurufnya atau membacanya dengan bacaan terbata-bata atau terputus-putus sehinggga merusak arti.[4]
Sudah barang tentu orang yang mahir membaca al-Qur’an lebih berhak mengimami shalat daripada orang  ummi atau lahhan. Oleh sebab itu, orang yang tidak mahir membaca al-Qur’an seharusnya tidak mengimami shalat berjama’ah. Berdasarkan sabda Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ :

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ

“Orang yang mengimami shalat hendaklah orang yang paling mahir membaca al-Qur’an.”[5]

Akan tetapi masalahnya, jika seorang ummi atau lahhan maju mengimami shalat jama’ah, maka bagaimanakah status shalat para makmum? Apakah harus mengulangi shalat mereka?.
Dalam masalah ini ada empat macam pendapat ulama yang berbeda, yaitu:
Pendapat Pertama :
Tidak sah shalat bermakmum kepadanya dan harus mengulang shalat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, asy-Sayafi’I dan Ahmad bin Hambal. Mereka berdalil dengan hadist:

لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca al-Fatihah”.[6]

Hadist ini menunjukkan wajibnya membaca al-Fatihah. Orang yang tidak dapat membaca al-Fatihah dengan baik dianggap membaca dengan tidak sempurna. Maka bagi yang shalat bermakmum kepadanya harus mengulangi shalat.

Pendapat Kedua:
Boleh shalat bermakmum kepadanya dan para makmum tidak perlu mengulang shalat mereka. Ini merupakan pendapat dari Atha’ bin Abi Rabah, Qatadah, al-Muzni, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Mereka beralasan karena si imam yang ummi tidak mampu melaksanakan salah satu rukun shalat, sedangkan bagi yang mampu melaksanakannya dibolehkan bermakmum kepada yang tidak mampu.[7]

Pendapat Ketiga:
Suatu riwayat dalam madzhab asy-Syafi’I dan Hanbali yaitu seorang Qari’ (yang mahir membaca al-Qur’an) boleh bermakmum kepada imam yang ummi (tidak bisa tulis baca arab-pentj.) hanya pada shalat-shalat sirriyah (Zhuhur dan Ashar) dan tidak boleh pada shalat-shalat jahriyah (Shubuh, Maghrib, dan Isya’). Sebab dalam shalat sirriyah, baik imam maupun makmum semua wajib membaca. Maka dari itu shalat seorang qari’ yang bermakmum kepada imam yang ummi dianggap sah pada shalat sirriyah tersebut.[8]

Pendapat Keempat:
Jika seorang ummi mengimami orang-orang yang juga ummi seperti dirinya, maka shalat mereka dianggap sah. Adapun jika si makmum seorang qari’ (yang mahir membaca al-Qur’an) maka shalat si ummi (imam) dianggap sah sedang shalat si qari’ (makmum) dianggap batal (tidak sah). Dan jika imam yang ummi mengimami hanya satu orang makmum yang mahir membaca al-Qur’an (Qari’), maka shalat mereka berdua dianggap batal (tidak sah). Keduanya harus mengulangi shalat.[9]

Pendapat yang rajih (kuat):
Pendapat keempat (hanya saja harus memperhatikan beberapa hal berikut):
1.      Seorang ummi tidak boleh diangkat menjadi imam rawatib (imam tetap). Sementara yang qari’ lebih berhak untuk menjadi imam.
2.      Seorang qari’ tidak boleh mengikuti dari awal shalat imam yang ummi.
3.       Jika qari’ tidak mengetahui keadaan si imam yang ummi itu lalu ia bermakmum kepadanya, maka shalatnya dianggap sah. Berdasarkan hadist Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ :

صَلّوا خَلْفَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Shalatlah di belakang (bermakmumlah kepada) orang yang mengucapkan La ilaha Illallahu.


  

Hukum Bermakmum di Belakang Imam yang Lahhan

Sesungguhnya inti dari permasalahan ini ada 2, yaitu:
1.Hukum imam yang lahhan dengan lahhan yang dapat merubah makna.
2.Hukum imam yang lahhan tetapi lahhannya tidak merubah makna.

Masalah yang Pertama:
Hukum Imam yang lahhan dengan lahhan yang dapat merubah makna, seperti:
ü Mendhammahkan atau mengkasrahkan huruf ta’ pada lafadzh ((أَنْعَمْتَ))  dari Firman Allah Ta’ala:
[10]((صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِم))
ü Memfathahkan huruf wawu pada lafadzh ((الْمُصَّوِرُ ))  dari Firman Allah Ta’ala:
[11]((هُوَاللهُ الْخَالِقَ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ))
ü Memfathahkan huruf mim pada lafadzh ((آدَمُ ))  dan mendhammahkan huruf Ba pada lafadzh ((رَبَّهُ))  dari Firman Allah Ta’ala :
[12]((وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى ))  


Untuk masalah ini para ‘ulama dari empat madzhab telah bersepakat tentang tidak sah shalat dan imamnya orang yang sengaja melakukan lahhan yang merubah makna.
Adapun dilakukan dengan tidak seperti keadaan di atas maka dalam hal ini ada 4 perbedaan pendapat diantara para ‘ulama:
Pendapat Pertama:
Apabila terjadi pada surat al-Fatihah maka imamnya tidak sah, dan apabila di surat lain maka imamnya sah, hanya saja dihukumi makruh. Ini pendapat Imam asy-Syafi’I dan Hanabilah.
Pendapat Kedua:
Hukum imam orang yang lahhan tidak sah secara mutlak, baik pad surat al-Fatihah ataupun pada surat lain. Ini pendapat al-Mutaqaddimuun minal Hanafiyah (para pendahulu dari pengikut madzhab Hanafi) dan sebagian Malikiyah.
Pendapat Ketiga:
Hukum Imam orang yang lahhan adalah sah secara mutlak baik pada surat al-Fatihah ataupun surat lain. Ini pendapat al-Mutaakhiriin minal Hanafiyah (pengikut madzhab Hanafi yang belakangan) dan sebagian Malikiyah.
Pendapat Keempat:
Hukum Imam orang yang lahhan dalam surat al-Fatihah tidak sah, adapun dalam surat yang lain dihukumi sah dan tidak makruh. Ini pendapat sebagian dari kalangan Malikiyah.

Keterangan:
Dari empat pendapat diatas, pendapat yang paling rajih (yang paling unggul) adalah pendapat yang pertama, dengan alasan sebagai berikut:
Ø Dalil yang mereka gunakan lebih kuat, dalilnya adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu’anhu bahwa Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ bersabda:
Ø  
لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah)”.[13]
Sisi pendalilan dari hadist tersebut adalah:
Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ telah mengabarkan kepada kita bahwa shalat dihukumi tidak sah kecuali dengan membaca surat al-Fatihah, maksudnya adalah membacanya dangan bacaan yang benar tanpa lahhan, sedangkan orang yang terjatuh pada lahhan dengan lahhan yang merubah makna berarti orang tersebut tidak membaca dengan bacaan yang benar sesuai dengan sifat (tata cara) yang diperintahkan oleh Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ , maka shalat orang tersebut tidak sah, dangan dasar ini keimamamnya dalam shalat dihukumi tidak sah.
Ø Adapun dalil dari hukum makruhnya imam yang lahhan pada surat selain al-Fatihah walaupun sah keimaman shalatnya adalah:
Seandainya seorang imam hanya membaca surat al-Fatihah dan tidak membaca surat yang lain maka shalatnya tetap dihukumi sah, apabila hukum shalatnya sah maka sah pula shalatnya orang yang bermakmum di belakangnya.[14]
Ø Dari sisi lain al-Qur’an itu lafadzh dan maknanya Mu’jiz[15], jika seseorang membaca al-Fatihah dengan lahhan yang merubah maknanya, maka hilanglah kemukjizatannya.


Masalah yang Kedua:
Hukum Imam dengan lahhan yang tidak merubah makna, seperti:
ü  Mendhamahkan huruf Ha pada lafadzh ((للّٰه ))
[16]((الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَا لَمِيْنَ ))
ü  Memfathahkan huruf nun dan mim dari Firman Allah Ta’ala ((الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ))[17].
ü  Mendhammahkan huruf Ta pada lafadzh ((أَصْوَا تَكُمْ ))  dari Firman Allah Ta’ala:
[18]((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَا تَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِي ))

Dalam masalah ini ada 4 perbedaan pendapat di antara para ‘ulama[19]:
Pendapat Pertama:
Makruh keimaman dalam shalatnya. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan Hanabilah.
Pendapat Kedua:
Sah keimamannya dan tidak makruh. Ini adalah pendapatnya Hanafiyah dan pendapat yang dipegang oleh Malikiyah.
Pendapat Ketiga:
Tdiak sah keimamannya apabila lahhannya pada surat al-Fatihah dan sah pada selainnya. Ini pendapat sebagian Malikiyah.
Pendapat Keempat:
Tidak sah keimamannya secara mutlak. Ini adalah pendapat sebagian Malikiyah.

Keterangan:
Pendapat yang rajih (yang unggul) pada masalah ini adalah pendapat yang pertama, yaitu makruh keimaman orang yang lahhan dengan lahhan yang tidak merubah makna dengan 2 alasan:
1.Orang yang lahhan dalam qira’ahnya dengan lahhan yang tidak merubah makna telah mendatangkan fardhu qira’ah, maka sahlah shalat dan keimamannya.
2.Bahwa makna dari lafadzh yang dibaca dengan lahhan tetap ada, maka sahlah shalat dan keimamannya walaupun bersama lahhan.

Inilah dua permasalahan penting yang dapat penulis sampaikan.
Untuk melengkapi pembahasan ini, sengaja penulis menurunkan 2 perkataan ‘ulama besar dalam masalah ini, agar kita semakin menyadari akan pentingnya Qira’ah yang benar.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz رحمه الله berkata:
Ø إِذَا كَانَ لَحْنُ الإِ مَامِ لَا يُحِيْلُ المَعْنَى فَلَا حَرَجَ فِي صَلَاةٍ خَلْفَهُ مِثْلَ نَصْبِ (رَبِّ) أَوْ رَفْعِهَا فِي ((الحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ)) وَهَكَذَا نَصْبُ الرَّحْمَنِ أَوْرَفْعُهُ وَنَحْوُ ذَلِكَ.
Ø أَمَّا إِذَ كَانَ يُحِيلُ المَعْنَى فَلَا يُصَلِّى خَلْفَهُ إِذَا لَمْ يَنْتَفِعْ بِالتَّعْلِيْمِ وَالفَتْحِ عَلَيْهِ، مِثْلُ أَنْ يَقْرَأَ ((إِيَّاكَ نَعْبُدُ)) بِكَسْرِ الكَافِ وَ مِثْلُ أَنْ يَقْرَأَ ((أَنْعَمْتَ)) بِكَسْرِ التَّاءِ أَوْ ضَمِّهَا، فَإِنْ قَبِلَ التَّعْلِيْمَ وَ أَصْلَحَ قِرَاءَتَهُ بِالفَتْحِ عَلَيْهِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَ قِرَاءَتُهُ.

·         “Apabila lahhan seorang Imam tidak merubah makna, maka tidak mengapa untuk shalat (bermakmum) di belakangnya seperti menashabkan (memfathahkan) atau merafa’kan (mendhammahkan) lafadhz (رَبِّ) dalam ayat ((الحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ))  , begitu juga menashabkan atau merafa’kan lafadzh  ((الرَّحْمَنِ ))   dan semisalnya.
·         Adapun apabila lahhannya dapat merubah makna, maka janganlah shalat (bermakmum) di belakangnya, jika dai (imam tersebut) tidak dapat merubah kesalahannya dengan diberikan pelajaran atau diluruskan oleh orang lain, seperti membaca lafadzh ((إِيَّاكَ نَعْبُدُ)) dengan mengkasrahkan kaf, atau lafadzh ((أَنْعَمْتَ))  dengan mengkasrahkan huruf ta’ (ت)  atau mendhammahkannya.
·         Tetapi apabila dia dapat menerima untuk diajari atau diluruskan kemudian memperbaiki bacaannya, maka shalat dan qira’ahnya sah.”[20]




Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan Hafidzhahullah berkata:
Ø    وَلَا تَصِحُّ إِمَامَةُ الأُمِيِّ، وَ المُرَادُ بِهِ هُنَا: مَنْ لَا يَحْفَظُ سُورَةَ الفَاتِحَةِ أَوْ يَحْفَظُهَا وَلَكِن لَا يَحْسِنُ قِرَاءَتَهَا،  كَأَنْ يَلْحَنَ   فِيهَا لَحْنًا يُحِيلُ المَعْنَى، كَكَسْرِ كَافٍ ((إَيَّاكَ)) الفَاتِحَة: ٥ وَ ضَمِّ تَاءٍ ((أَنْعَمْتَ)) الفاتحة: ٧ وَفَتْحِ هَمْزَةٍ   ((اهدِنَا)) الفَاتِحَة:٦

Ø أَوْ يُبَدِّلَ حَرْفًا بِغَيْرِهِ، وَ هُوَ الأَلْثَغُ كَمَنْ يُبَدِّلُ الرَّاءَ غَينًا أَوْ لَامًا. أَوِ السِّينَ تَاءً وَ نَحْوُ ذَلِك، فَلَا تَصِحُّ إِمَامَةُ الأُمِيِّ إِلَّا   بِأُمِيِّ مِثْلِهِ لِتَسَا وِيهِمَا، إِذَا كَا نُوا عَا جِزِينَ عَنْ إِصْلَاحِهِ، فَإِنْ قَدِرَ الأُمِيُّ عَلَى الإِصْلَاحِ لِقِرَاءَتِهِ، لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَلَا   صَلَاةُ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ لِأَنَّهُ تَرَكَ رُكْنًا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهِ.


·      “Tidak sah imam seorang umiy, maksudnya adalah orang yang tidak hafal surat al-Fatihah, atau hafal tetapi tidak bagus bacaannya seperti orang yang lahhan dengan lahhan yang bisa merubah makna.
Seperti: Mengkasrahkan huruf kaf pada lafadzh ((إِيَّاكَ )) al-Fatihah:5, mendhammahkan huruf ta’ pada lafadzh ((أَنْعَمْتَ))  al-Fatihah:7, memfathahkan huruf hamzah pada lafadzh ((اهْدِنَا )) al-Fatihah:6.
·      Atau merubah huruf menjadi huruf lain, dan dia cadel (dalam mengucapkannya) seperti orang yang merubah huruf ta’ menjadi ghain atau lam atau merubah huruf sin menjadi ta’ dan semisalnya.
Tidak sah Imam seorang umiy kecuali mengimami orang yang semisalnya karena kesamaan keduanya, jika mereka tidak mampu untuk memperbaikinya, adapun jika orang umiy ini mampu memperbaiki qira’ahnya (tapi dia tidak berusaha melakukannya)[21] maka tidak sah shalatnya dan shalat orang yang bermakmum di belakangnya karena dia telah meninggalkan salah satu rukun padahal dia memiliki kemampuan atasnya.”[22] 



Referensi:
                  صلاة الجما عة حكمها وأحكا مها, Syaikh DR. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Riyadh, Saudi Arabia.
Makalah Daurah Tajwid ke-2 bersama Ust. Abu Ya’la Kurnaedi Lc, Ma’had Takhasus al-Barkah Cileungsi 23-27 Juli 2012


[1] Yang Mahir Membaca al-Qur’an (pentj.).
[2] Tidak Fasih Membaca Huruf Arab Atau Tidak Memahami Bahasa Arab Dengan Baik Dan Benar (pentj.).
[3] Lihat al-Mathla’ hal 10 dan asy-Syarh ash-Shagir 1/437.
[4] Lihat al-Mughni 2/195 juga al-Majmu’ 4/166.
[5] H.R. Muslim 1/465.
[6] H.R. Bukhari 1/184, Shahih Muslim no. 394.
[7] Lihat kitab al-Majmu’ 4/167-168.
[8] Lihat al-Majmu’ 4/167 dan al-Mughni 2/30.
[9] Lihat al-Inshaf 2/268-270 dan al-Mughni 2/30 dan 41.
[10] Q.S. al-Fatihah: 7.
[11] Q.S. al-Hasyr : 24.
[12] Q.S. Thaha : 121.
[13] H.R. Bukhari no.756, Muslim no.394.
[14] Lihat al-Ahkam al-Fiqhiyyah al-Khaashah bil Qur’anil Karim hal.162.
[15] Artinya lafadzh dan maknanya sangat tinggi dan ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang terbesar yang tidak bisa ditandingi.
[16] Q.S. al-Fatihah:2.
[17] Q.S. al-Fatihah:3.
[18] Q.S. al-Hujurat:2.
[19] Lihat al-Ahkam al-Fiqhiyyah al-Khaashah bil Qur’anil Karim hal.165-166.
[20] Al-Ikhtiyaarat al-Fiqhiyyah Fii Masaa’ilil Ibaadaat hal.112-113.
[21] (Dalam kurung) tambahan penerjemah.
[22] Al-Mulakhkhas al-Fiqhiy:1/223.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar