Yang
dimaksud dengan ummi atau lahhan disini adalah orang yang tidak bisa membaca
al-Qur'an dengan baik dan benar.[3]
Menurut
madzhab asy-Syafi’iyah, Hanbali dan pendapat al-Auza’I, ummi itu adalah orang
yang tidak mampu membaca al-Fatihah dengan sempurna atau salah mengucapkan
hurufnya atau membacanya dengan bacaan terbata-bata atau terputus-putus
sehinggga merusak arti.[4]
Sudah
barang tentu orang yang mahir membaca al-Qur’an lebih berhak mengimami shalat
daripada orang ummi atau lahhan. Oleh
sebab itu, orang yang tidak mahir membaca al-Qur’an seharusnya tidak mengimami
shalat berjama’ah. Berdasarkan sabda Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ :
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ
“Orang
yang mengimami shalat hendaklah orang yang paling mahir membaca al-Qur’an.”[5]
Akan
tetapi masalahnya, jika seorang ummi atau lahhan maju mengimami shalat jama’ah,
maka bagaimanakah status shalat para makmum? Apakah harus mengulangi shalat
mereka?.
Dalam
masalah ini ada empat macam pendapat ulama yang berbeda, yaitu:
Pendapat Pertama :
Tidak
sah shalat bermakmum kepadanya dan harus mengulang shalat. Ini merupakan
pendapat Abu Hanifah, Malik, asy-Sayafi’I dan Ahmad bin Hambal. Mereka berdalil
dengan hadist:
لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak
sah shalatnya orang yang tidak membaca al-Fatihah”.[6]
Hadist
ini menunjukkan wajibnya membaca al-Fatihah. Orang yang tidak dapat membaca
al-Fatihah dengan baik dianggap membaca dengan tidak sempurna. Maka bagi yang
shalat bermakmum kepadanya harus mengulangi shalat.
Pendapat Kedua:
Boleh
shalat bermakmum kepadanya dan para makmum tidak perlu mengulang shalat mereka.
Ini merupakan pendapat dari Atha’ bin Abi Rabah, Qatadah, al-Muzni, Abu Tsaur
dan Ibnul Mundzir. Mereka beralasan karena si imam yang ummi tidak mampu
melaksanakan salah satu rukun shalat, sedangkan bagi yang mampu melaksanakannya
dibolehkan bermakmum kepada yang tidak mampu.[7]
Pendapat Ketiga:
Suatu
riwayat dalam madzhab asy-Syafi’I dan Hanbali yaitu seorang Qari’ (yang mahir
membaca al-Qur’an) boleh bermakmum kepada imam yang ummi (tidak bisa tulis baca
arab-pentj.) hanya pada shalat-shalat sirriyah (Zhuhur dan Ashar) dan tidak
boleh pada shalat-shalat jahriyah (Shubuh, Maghrib, dan Isya’). Sebab dalam
shalat sirriyah, baik imam maupun makmum semua wajib membaca. Maka dari itu
shalat seorang qari’ yang bermakmum kepada imam yang ummi dianggap sah pada
shalat sirriyah tersebut.[8]
Pendapat Keempat:
Jika
seorang ummi mengimami orang-orang yang juga ummi seperti dirinya, maka shalat
mereka dianggap sah. Adapun jika si makmum seorang qari’ (yang mahir membaca
al-Qur’an) maka shalat si ummi (imam) dianggap sah sedang shalat si qari’
(makmum) dianggap batal (tidak sah). Dan jika imam yang ummi mengimami hanya
satu orang makmum yang mahir membaca al-Qur’an (Qari’), maka shalat mereka
berdua dianggap batal (tidak sah). Keduanya harus mengulangi shalat.[9]
Pendapat yang rajih (kuat):
Pendapat
keempat (hanya saja harus memperhatikan beberapa hal berikut):
1.
Seorang
ummi tidak boleh diangkat menjadi imam rawatib (imam tetap). Sementara yang
qari’ lebih berhak untuk menjadi imam.
2.
Seorang
qari’ tidak boleh mengikuti dari awal shalat imam yang ummi.
3.
Jika
qari’ tidak mengetahui keadaan si imam yang ummi itu lalu ia bermakmum
kepadanya, maka shalatnya dianggap sah. Berdasarkan hadist Rasulullah صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَمَ :
صَلّوا خَلْفَ
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
“Shalatlah di
belakang (bermakmumlah kepada) orang yang mengucapkan La ilaha Illallahu.”
Hukum
Bermakmum di Belakang Imam yang Lahhan
Sesungguhnya inti
dari permasalahan ini ada 2, yaitu:
1.Hukum imam yang lahhan dengan lahhan yang dapat
merubah makna.
2.Hukum imam yang lahhan tetapi lahhannya tidak
merubah makna.
Masalah
yang Pertama:
Hukum
Imam yang lahhan dengan lahhan yang dapat merubah makna, seperti:
ü Mendhammahkan atau mengkasrahkan
huruf ta’ pada lafadzh ((أَنْعَمْتَ))
dari
Firman Allah Ta’ala:
ü Memfathahkan huruf wawu pada
lafadzh ((الْمُصَّوِرُ
)) dari
Firman Allah Ta’ala:
[11]((هُوَاللهُ الْخَالِقَ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ
الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ))
ü Memfathahkan huruf mim pada
lafadzh ((آدَمُ
)) dan mendhammahkan huruf Ba pada lafadzh ((رَبَّهُ))
dari
Firman Allah Ta’ala :
Untuk
masalah ini para ‘ulama dari empat madzhab telah bersepakat tentang tidak sah
shalat dan imamnya orang yang sengaja
melakukan lahhan yang merubah makna.
Adapun
dilakukan dengan tidak seperti keadaan di atas maka dalam hal ini ada 4
perbedaan pendapat diantara para ‘ulama:
Pendapat Pertama:
Apabila
terjadi pada surat al-Fatihah maka imamnya tidak sah, dan apabila di surat lain
maka imamnya sah, hanya saja dihukumi makruh. Ini pendapat Imam asy-Syafi’I dan
Hanabilah.
Pendapat Kedua:
Hukum
imam orang yang lahhan tidak sah secara mutlak, baik pad surat al-Fatihah
ataupun pada surat lain. Ini pendapat al-Mutaqaddimuun minal Hanafiyah (para
pendahulu dari pengikut madzhab Hanafi) dan sebagian Malikiyah.
Pendapat Ketiga:
Hukum
Imam orang yang lahhan adalah sah secara mutlak baik pada surat al-Fatihah
ataupun surat lain. Ini pendapat al-Mutaakhiriin minal Hanafiyah (pengikut
madzhab Hanafi yang belakangan) dan sebagian Malikiyah.
Pendapat Keempat:
Hukum
Imam orang yang lahhan dalam surat al-Fatihah tidak sah, adapun dalam surat
yang lain dihukumi sah dan tidak makruh. Ini pendapat sebagian dari kalangan
Malikiyah.
Keterangan:
Dari
empat pendapat diatas, pendapat yang paling rajih (yang paling unggul) adalah pendapat
yang pertama, dengan alasan sebagai berikut:
Ø
Dalil
yang mereka gunakan lebih kuat, dalilnya adalah sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu’anhu bahwa Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَمَ bersabda:
Ø
لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang
tidak membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah)”.[13]
Sisi pendalilan dari hadist
tersebut adalah:
Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَمَ telah
mengabarkan kepada kita bahwa shalat dihukumi tidak sah kecuali dengan membaca
surat al-Fatihah, maksudnya adalah membacanya dangan bacaan yang benar tanpa
lahhan, sedangkan orang yang terjatuh pada lahhan dengan lahhan yang merubah
makna berarti orang tersebut tidak membaca dengan bacaan yang benar sesuai
dengan sifat (tata cara) yang diperintahkan oleh Nabi صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَمَ , maka shalat orang tersebut tidak sah, dangan dasar ini
keimamamnya dalam shalat dihukumi tidak sah.
Ø
Adapun
dalil dari hukum makruhnya imam yang lahhan pada surat selain al-Fatihah
walaupun sah keimaman shalatnya adalah:
Seandainya seorang imam hanya
membaca surat al-Fatihah dan tidak membaca surat yang lain maka shalatnya tetap
dihukumi sah, apabila hukum shalatnya sah maka sah pula shalatnya orang yang
bermakmum di belakangnya.[14]
Ø
Dari
sisi lain al-Qur’an itu lafadzh dan maknanya Mu’jiz[15],
jika seseorang membaca al-Fatihah dengan lahhan yang merubah maknanya, maka
hilanglah kemukjizatannya.
Masalah
yang Kedua:
Hukum Imam dengan lahhan yang
tidak merubah makna, seperti:
ü
Mendhamahkan
huruf Ha pada lafadzh ((للّٰه
))
ü Mendhammahkan
huruf Ta pada lafadzh ((أَصْوَا تَكُمْ
)) dari
Firman Allah Ta’ala:
Dalam masalah ini ada 4 perbedaan
pendapat di antara para ‘ulama[19]:
Pendapat
Pertama:
Makruh keimaman dalam shalatnya.
Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan Hanabilah.
Pendapat
Kedua:
Sah keimamannya dan tidak makruh.
Ini adalah pendapatnya Hanafiyah dan pendapat yang dipegang oleh Malikiyah.
Pendapat
Ketiga:
Tdiak sah keimamannya apabila
lahhannya pada surat al-Fatihah dan sah pada selainnya. Ini pendapat sebagian
Malikiyah.
Pendapat
Keempat:
Tidak sah keimamannya secara
mutlak. Ini adalah pendapat sebagian Malikiyah.
Keterangan:
Pendapat yang rajih (yang unggul)
pada masalah ini adalah pendapat yang pertama, yaitu makruh keimaman orang yang
lahhan dengan lahhan yang tidak merubah makna dengan 2 alasan:
1.Orang yang lahhan dalam qira’ahnya dengan lahhan
yang tidak merubah makna telah mendatangkan fardhu qira’ah, maka sahlah shalat
dan keimamannya.
2.Bahwa makna dari lafadzh yang dibaca dengan lahhan
tetap ada, maka sahlah shalat dan keimamannya walaupun bersama lahhan.
Inilah dua permasalahan penting
yang dapat penulis sampaikan.
Untuk melengkapi pembahasan ini,
sengaja penulis menurunkan 2 perkataan ‘ulama besar dalam masalah ini, agar
kita semakin menyadari akan pentingnya Qira’ah yang benar.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah
bin Baz رحمه الله berkata:
Ø إِذَا كَانَ لَحْنُ الإِ مَامِ لَا يُحِيْلُ المَعْنَى
فَلَا حَرَجَ فِي صَلَاةٍ خَلْفَهُ مِثْلَ نَصْبِ (رَبِّ) أَوْ رَفْعِهَا فِي
((الحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ)) وَهَكَذَا نَصْبُ الرَّحْمَنِ
أَوْرَفْعُهُ وَنَحْوُ ذَلِكَ.
Ø أَمَّا إِذَ كَانَ يُحِيلُ المَعْنَى فَلَا يُصَلِّى
خَلْفَهُ إِذَا لَمْ يَنْتَفِعْ بِالتَّعْلِيْمِ وَالفَتْحِ عَلَيْهِ، مِثْلُ أَنْ
يَقْرَأَ ((إِيَّاكَ نَعْبُدُ)) بِكَسْرِ الكَافِ وَ مِثْلُ أَنْ يَقْرَأَ
((أَنْعَمْتَ)) بِكَسْرِ التَّاءِ أَوْ ضَمِّهَا، فَإِنْ قَبِلَ التَّعْلِيْمَ وَ
أَصْلَحَ قِرَاءَتَهُ بِالفَتْحِ عَلَيْهِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَ قِرَاءَتُهُ.
·
“Apabila
lahhan seorang Imam tidak merubah makna, maka tidak mengapa untuk shalat
(bermakmum) di belakangnya seperti menashabkan (memfathahkan) atau merafa’kan
(mendhammahkan) lafadhz (رَبِّ) dalam ayat ((الحَمْدُ
لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ)) , begitu juga menashabkan atau merafa’kan
lafadzh ((الرَّحْمَنِ )) dan
semisalnya.
·
Adapun
apabila lahhannya dapat merubah makna, maka janganlah shalat (bermakmum) di
belakangnya, jika dai (imam tersebut) tidak dapat merubah kesalahannya dengan
diberikan pelajaran atau diluruskan oleh orang lain, seperti membaca lafadzh ((إِيَّاكَ
نَعْبُدُ)) dengan mengkasrahkan kaf, atau lafadzh ((أَنْعَمْتَ)) dengan mengkasrahkan
huruf ta’ (ت)
atau mendhammahkannya.
·
Tetapi
apabila dia dapat menerima untuk diajari atau diluruskan kemudian memperbaiki
bacaannya, maka shalat dan qira’ahnya sah.”[20]
Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan Hafidzhahullah berkata:
Ø وَلَا تَصِحُّ إِمَامَةُ الأُمِيِّ، وَ المُرَادُ بِهِ
هُنَا: مَنْ لَا يَحْفَظُ سُورَةَ الفَاتِحَةِ أَوْ يَحْفَظُهَا وَلَكِن لَا
يَحْسِنُ قِرَاءَتَهَا، كَأَنْ
يَلْحَنَ فِيهَا لَحْنًا يُحِيلُ
المَعْنَى، كَكَسْرِ كَافٍ ((إَيَّاكَ)) الفَاتِحَة: ٥ وَ ضَمِّ تَاءٍ
((أَنْعَمْتَ)) الفاتحة: ٧ وَفَتْحِ هَمْزَةٍ
((اهدِنَا)) الفَاتِحَة:٦
Ø أَوْ يُبَدِّلَ حَرْفًا بِغَيْرِهِ، وَ هُوَ الأَلْثَغُ
كَمَنْ يُبَدِّلُ الرَّاءَ غَينًا أَوْ لَامًا. أَوِ السِّينَ تَاءً وَ نَحْوُ
ذَلِك، فَلَا تَصِحُّ إِمَامَةُ الأُمِيِّ إِلَّا بِأُمِيِّ مِثْلِهِ لِتَسَا وِيهِمَا، إِذَا
كَا نُوا عَا جِزِينَ عَنْ إِصْلَاحِهِ، فَإِنْ قَدِرَ الأُمِيُّ عَلَى
الإِصْلَاحِ لِقِرَاءَتِهِ، لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَلَا صَلَاةُ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ لِأَنَّهُ
تَرَكَ رُكْنًا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهِ.
·
“Tidak
sah imam seorang umiy, maksudnya adalah orang yang tidak hafal surat
al-Fatihah, atau hafal tetapi tidak bagus bacaannya seperti orang yang lahhan
dengan lahhan yang bisa merubah makna.
Seperti:
Mengkasrahkan huruf kaf pada lafadzh ((إِيَّاكَ )) al-Fatihah:5, mendhammahkan huruf
ta’ pada lafadzh ((أَنْعَمْتَ)) al-Fatihah:7, memfathahkan huruf hamzah pada
lafadzh ((اهْدِنَا
)) al-Fatihah:6.
·
Atau
merubah huruf menjadi huruf lain, dan dia cadel (dalam mengucapkannya) seperti
orang yang merubah huruf ta’ menjadi ghain atau lam atau merubah huruf sin
menjadi ta’ dan semisalnya.
Tidak
sah Imam seorang umiy kecuali mengimami orang yang semisalnya karena kesamaan
keduanya, jika mereka tidak mampu untuk memperbaikinya, adapun jika orang umiy
ini mampu memperbaiki qira’ahnya (tapi dia tidak berusaha melakukannya)[21]
maka tidak sah shalatnya dan shalat orang yang bermakmum di belakangnya karena
dia telah meninggalkan salah satu rukun padahal dia memiliki kemampuan
atasnya.”[22]
Referensi:
صلاة الجما عة حكمها وأحكا مها, Syaikh DR. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Riyadh, Saudi Arabia.
Makalah
Daurah Tajwid ke-2 bersama Ust. Abu Ya’la Kurnaedi Lc, Ma’had Takhasus
al-Barkah Cileungsi 23-27 Juli 2012
[1] Yang Mahir Membaca al-Qur’an
(pentj.).
[2] Tidak Fasih Membaca Huruf Arab
Atau Tidak Memahami Bahasa Arab Dengan Baik Dan Benar (pentj.).
[3]
Lihat al-Mathla’ hal 10 dan asy-Syarh ash-Shagir 1/437.
[4]
Lihat al-Mughni 2/195 juga al-Majmu’ 4/166.
[5]
H.R. Muslim 1/465.
[6]
H.R. Bukhari 1/184, Shahih Muslim no. 394.
[7]
Lihat kitab al-Majmu’ 4/167-168.
[8]
Lihat al-Majmu’ 4/167 dan al-Mughni 2/30.
[9]
Lihat al-Inshaf 2/268-270 dan al-Mughni 2/30 dan 41.
[10]
Q.S. al-Fatihah: 7.
[11]
Q.S. al-Hasyr : 24.
[12]
Q.S. Thaha : 121.
[13]
H.R. Bukhari no.756, Muslim no.394.
[14]
Lihat al-Ahkam al-Fiqhiyyah al-Khaashah bil Qur’anil Karim hal.162.
[15]
Artinya lafadzh dan maknanya sangat tinggi dan ia merupakan mukjizat Nabi
Muhammad yang terbesar yang tidak bisa ditandingi.
[16] Q.S.
al-Fatihah:2.
[17]
Q.S. al-Fatihah:3.
[18]
Q.S. al-Hujurat:2.
[19]
Lihat al-Ahkam al-Fiqhiyyah al-Khaashah bil Qur’anil Karim hal.165-166.
[20]
Al-Ikhtiyaarat al-Fiqhiyyah Fii Masaa’ilil Ibaadaat hal.112-113.
[21]
(Dalam kurung) tambahan penerjemah.
[22]
Al-Mulakhkhas al-Fiqhiy:1/223.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar