BULAN MUHARRAM(SURO)
BULAN SIAL?
Sudah menjadi
‘keyakinan’ bagi sebagian masyarakat Indonesia –Jawa khususnya- bahwa bulan
Muharram –atau bulan Suro dalam istilah Jawa- adalah bulan keramat. Pada
tanggal-tanggal tertentu mereka menghentikan aktivitas-aktivitas yang bersifat
hajatan besar, menghidari perjalanan jauh, sebab hari itu mereka anggap sebagai
hari naas atau sial.
Bulan itu juga mereka takuti bagi pasangan yang hendak merencanakan
pernikahan. Oleh karenanya mereka sangat menghindarinya dan memilih pernikahan
dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Pasalnya, -menurut klaim mereka- pernikahan
yang dilangsungkan pada bulan Muharram kerap mendatangkan sial bagi pasangan,
seperti perceraian, kematian, tidak harmonis, dililit utang, dsb. Budaya ini
sudah mengakar sebagai warisan nenek moyang kita. Kami tidak tahu secara pasti
ini dari mana sumbernya, tetapi mungkin saja sebagai pengaruh asimilasi budaya
Hindu dan Islam yang ketika berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.
Mitos Bulan Suro dalam Timbangan
Sejatinya, mitos tersebut di atas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Batilnya mitos itu minimal bisa dipandang dari tiga tinjauan; tinjauan syariat
Islam, sejarah dan sisi rasional.
1.
Tinjauan Syariat
Dari segi syariat, bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan termasuk
dalam golongan 4 bulan istimewa yang diharamkan Allah.
Disunnahkan untuk
memperbanyak puasa di bulan ini. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan
Allah; Muharram. Dan shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat
malam.”
(HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah).
Terlebih lagi berpuasa di tanggal sepuluh dari bulan ini, ditambah dengan
tanggal sembilan atau sebelas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Aku berharap pada Allah agar puasa di hari ‘Asyura’ (tanggal
sepuluh bulan Muharram) bisa menghapuskan dosa satu tahun lalu.”
(HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Qatadah).
Sedangkan yang dilarang
oleh syariat di bulan ini adalah melakukan peperangan kecuali apabila umat
Islam diperangi. Termasuk diharamkan pula perbuatan-perbuatan menzalimi diri
sendiri. “Perbuatan maksiat di bulan ini dilipatgandakan dosanya.” Apalagi jika
maksiat tersebut bernuansa syirik dan khurafat, seperti keyakinan bahwa bulan
ini adalah bulan sial.
Meyakini adanya hari atau
bulan sial merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Allah ciptakan, dan itu
beresiko mencela Allah yang menciptakannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah kalian mencela dahr(waktu) karena Allah itu adalah
dahr.”
(HR. Muslim (XV/6 no.5827) dari Abu Hurairah).
Maksudnya bahwa Allah
adalah pencipta waktu, sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang menjadi
penafsir hadist di atas. Dan mencela ciptaan Allah beresiko mencela
Penciptanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ‘Azza wa
jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr(waktu), padahal
Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan
siang”.
(HR. Bukhari (hal.1034 no. 5827) dan Muslim (XV/5 no. 5824) dari Abu
Hurairah).
Hari, bulan dan tahun yang
Allah ciptakan semuanya baik, tidak ada yang sial atau naas. Sesungguhnya
kesialan, kecelakaan adalah bagian dari takdir Allah, yang tidak diketahui hamba-Nya
kecuali setelah terjadi. Allah bisa menimpakan kesialan atau kenaasan kepada
siapapun, di manapun dan kapanpun, bila Allah menghendakinya. Dan hamba harus
rela menerima takdir tersebut.
Perlu diketahui pula bahwa
mengkambinghitamkan waktu sebagai penyebab kesialan suatu usaha, sejatinya
merupakan mitos masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka sering berkumpul di berbagai
kesempatan untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal dan terkadang dalam
perbincangan mereka terlontar ucapan-ucapan yang mempersalahkan waktu sebagai
penyebab kesialan usaha mereka, atau manakala mereka ditimpa berbagai musibah
lainnya.
Disamping itu, keyakinan
adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk thiyarah atau tasya’um (menganggap
sial sesuatu) yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ia
merupakan kesyirikan yang biasa dilakukan oleh kaum Jahiliyah sebelum Islam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah adalah kesyirikan
(beliau mengulanginya 3x).”
(HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Ibnu Hibban dan al-Albany).
Kemudian perlu diketahui
juga bahwa tidak ada larangan melakukan aktifitas yang mubah di bulan Muharram,
apalagi yang bernuansa ibadah, semisal pernikahan.
2.
Tinjauan Sejarah
Pada bulan ini pula –tepatnya tanggal 10 bulan Muharram- Nabi Musa ‘Alaihis
salam selamat dari kejaran tentara Fir’aun. Ibnu ‘Abbas mengisahkan, “Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah, beliau mendapatkan
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Maka beliau bertanya kepada
mereka, “Hari apa ini yang kalian sekarang sedang berpuasa?” Maka mereka
menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung dimana Allah Ta’ala menyelamatkan
Nabi Musa bersama kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi
Musa berpuasa pada hari itu untuk mensyukurinya, kemudian kami mengikutinya.”
Rasulullah pun bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa
dari pada kalian”. Kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan
para Shahabatnya untuk berpuasa pula”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Kisah ini menuturkan
kejadian suka-cita, bukan duka-cita, apalagi kisah kesialan. Jadi, menganggap
bulan Muharram sebagai bulan naas tidak ada landasan sejarah yang
membenarkannya. Karena pada bulan ini justru kita mendapatkan anugerah yang
sangat tinggi, wajarlah jika kemudian kaum muslimin mensyukurinya dengan
berpuasa tanggal 10 Muharram.
3.
Tinjauan Produktifitas Amal
Secara rasional, tidak dipergunakannya sebuah hari -lebih- lebih sebulan-
untuk melakuan aktifitas sebagaimana layaknya, tentu akan mengurangi
produktifitas kerja atau amal. Ketika pada hari itu semestinya bisa
dimanfaatkan misalnya untuk melakukan perjalanan pulang kampung, atau berangkat
ke tempat kerja, pendidikan, silaturrahim atau hal-hal lain yang sangat
bermanfaat, maka semuanya harus ditunda besok harinya atau harus buru-buru
dilakukan sehari sebelumnya.
Masyarakat cenderung
memahami naasnya suatu usaha hanya pada masalah-masalah duniawiyah. Takut
kecelakaan, takut bangkrut, takut miskin dan takut mati. Ini menunjukkan bahwa
orientasi kerja mereka hanya semata-mata hasil yang bagus, sementara mereka
tidak siap untuk menerima kerugian, apalagi sampai pada tingkat kematian;
karena mereka memang tidak cukup bekal amal untuk itu. Padahal semua manusia
pasti mengalaminya. Dan yang jelas waktunya tidak mesti pada bulan Muharram,
melainkan di semua bulan manusia bisa mendapatkan keberuntungan maupun
kerugian. Tidak ada satu pun penelitian yang menghasilkan data bahwa pada bulan
Muharram angka kecelakaan meningkat, rasio kematian paling tinggi, kasus
perceraian paling banyak, dsb. Apakah dengan menghindari bulan ini dari
melakukan aktifitas tertentu lantas dijamin bebas dari masalah? Tentu tidak
jawabannya, sekali lagi semua tergantung dari usahanya dan taufiq dari Allah
Ta’ala, bukan waktu naas atau mujurnya.
Kita kan Masyarakat Jawa?!
Manakala dipaparkan keterangan di atas, barangkali akan ada sebagian
kalangan yang berdalih, “Walaupun beragama Islam, namun kita kan tinggal di
tanah Jawa, jadi tidak etis jika kita tidak mengikuti atau menghormati adat
istiadat masyarakat Jawa!.”
Jawabannya: Allah telah memerintahkan dalam al-Qur’an
agar kita bertotalitas dalam berislam. Kata Allah (yang artinya): “Wahai
orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok(akhirat). Dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan”.
(QS. Al-Hasyr:18).
Wallahu ‘alam...
Referensi:
Buletin Jum’at al-Hikmah Edisi 23 Tahun I, November 2012, Ust. Abdullah
Zaen, Lc. MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar