Sabtu, 24 November 2012

BULAN MUHARRAM(SURO) BULAN SIAL?


BULAN MUHARRAM(SURO)
BULAN SIAL?

Sudah menjadi ‘keyakinan’ bagi sebagian masyarakat Indonesia –Jawa khususnya- bahwa bulan Muharram –atau bulan Suro dalam istilah Jawa- adalah bulan keramat. Pada tanggal-tanggal tertentu mereka menghentikan aktivitas-aktivitas yang bersifat hajatan besar, menghidari perjalanan jauh, sebab hari itu mereka anggap sebagai hari naas atau sial.
Bulan itu juga mereka takuti bagi pasangan yang hendak merencanakan pernikahan. Oleh karenanya mereka sangat menghindarinya dan memilih pernikahan dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Pasalnya, -menurut klaim mereka- pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Muharram kerap mendatangkan sial bagi pasangan, seperti perceraian, kematian, tidak harmonis, dililit utang, dsb. Budaya ini sudah mengakar sebagai warisan nenek moyang kita. Kami tidak tahu secara pasti ini dari mana sumbernya, tetapi mungkin saja sebagai pengaruh asimilasi budaya Hindu dan Islam yang ketika berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.
Mitos Bulan Suro dalam Timbangan
Sejatinya, mitos tersebut di atas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Batilnya mitos itu minimal bisa dipandang dari tiga tinjauan; tinjauan syariat Islam, sejarah dan sisi rasional.
1.      Tinjauan Syariat
Dari segi syariat, bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan termasuk dalam golongan 4 bulan istimewa yang diharamkan Allah.
            Disunnahkan untuk memperbanyak puasa di bulan ini. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah; Muharram. Dan shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam.”
(HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah).
Terlebih lagi berpuasa di tanggal sepuluh dari bulan ini, ditambah dengan tanggal sembilan atau sebelas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berharap pada Allah agar puasa di hari ‘Asyura’ (tanggal sepuluh bulan Muharram) bisa menghapuskan dosa satu tahun lalu.”
(HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Qatadah).
            Sedangkan yang dilarang oleh syariat di bulan ini adalah melakukan peperangan kecuali apabila umat Islam diperangi. Termasuk diharamkan pula perbuatan-perbuatan menzalimi diri sendiri. “Perbuatan maksiat di bulan ini dilipatgandakan dosanya.” Apalagi jika maksiat tersebut bernuansa syirik dan khurafat, seperti keyakinan bahwa bulan ini adalah bulan sial.
            Meyakini adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Allah ciptakan, dan itu beresiko mencela Allah yang menciptakannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela dahr(waktu) karena Allah itu adalah dahr.”
(HR. Muslim (XV/6 no.5827) dari Abu Hurairah).
            Maksudnya bahwa Allah adalah pencipta waktu, sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang menjadi penafsir hadist di atas. Dan mencela ciptaan Allah beresiko mencela Penciptanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ‘Azza wa jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr(waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang”.
(HR. Bukhari (hal.1034 no. 5827) dan Muslim (XV/5 no. 5824) dari Abu Hurairah).
            Hari, bulan dan tahun yang Allah ciptakan semuanya baik, tidak ada yang sial atau naas. Sesungguhnya kesialan, kecelakaan adalah bagian dari takdir Allah, yang tidak diketahui hamba-Nya kecuali setelah terjadi. Allah bisa menimpakan kesialan atau kenaasan kepada siapapun, di manapun dan kapanpun, bila Allah menghendakinya. Dan hamba harus rela menerima takdir tersebut.
            Perlu diketahui pula bahwa mengkambinghitamkan waktu sebagai penyebab kesialan suatu usaha, sejatinya merupakan mitos masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka sering berkumpul di berbagai kesempatan untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal dan terkadang dalam perbincangan mereka terlontar ucapan-ucapan yang mempersalahkan waktu sebagai penyebab kesialan usaha mereka, atau manakala mereka ditimpa berbagai musibah lainnya.
            Disamping itu, keyakinan adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk thiyarah atau tasya’um (menganggap sial sesuatu) yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ia merupakan kesyirikan yang biasa dilakukan oleh kaum Jahiliyah sebelum Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah adalah kesyirikan (beliau mengulanginya 3x).”
(HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Ibnu Hibban dan al-Albany).
            Kemudian perlu diketahui juga bahwa tidak ada larangan melakukan aktifitas yang mubah di bulan Muharram, apalagi yang bernuansa ibadah, semisal pernikahan.
2.      Tinjauan Sejarah
Pada bulan ini pula –tepatnya tanggal 10 bulan Muharram- Nabi Musa ‘Alaihis salam selamat dari kejaran tentara Fir’aun. Ibnu ‘Abbas mengisahkan, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian sekarang sedang berpuasa?” Maka mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung dimana Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa bersama kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari itu untuk mensyukurinya, kemudian kami mengikutinya.” Rasulullah pun bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa dari pada kalian”. Kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para Shahabatnya untuk berpuasa pula”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
            Kisah ini menuturkan kejadian suka-cita, bukan duka-cita, apalagi kisah kesialan. Jadi, menganggap bulan Muharram sebagai bulan naas tidak ada landasan sejarah yang membenarkannya. Karena pada bulan ini justru kita mendapatkan anugerah yang sangat tinggi, wajarlah jika kemudian kaum muslimin mensyukurinya dengan berpuasa tanggal 10 Muharram.
3.      Tinjauan Produktifitas Amal
Secara rasional, tidak dipergunakannya sebuah hari -lebih- lebih sebulan- untuk melakuan aktifitas sebagaimana layaknya, tentu akan mengurangi produktifitas kerja atau amal. Ketika pada hari itu semestinya bisa dimanfaatkan misalnya untuk melakukan perjalanan pulang kampung, atau berangkat ke tempat kerja, pendidikan, silaturrahim atau hal-hal lain yang sangat bermanfaat, maka semuanya harus ditunda besok harinya atau harus buru-buru dilakukan sehari sebelumnya.
            Masyarakat cenderung memahami naasnya suatu usaha hanya pada masalah-masalah duniawiyah. Takut kecelakaan, takut bangkrut, takut miskin dan takut mati. Ini menunjukkan bahwa orientasi kerja mereka hanya semata-mata hasil yang bagus, sementara mereka tidak siap untuk menerima kerugian, apalagi sampai pada tingkat kematian; karena mereka memang tidak cukup bekal amal untuk itu. Padahal semua manusia pasti mengalaminya. Dan yang jelas waktunya tidak mesti pada bulan Muharram, melainkan di semua bulan manusia bisa mendapatkan keberuntungan maupun kerugian. Tidak ada satu pun penelitian yang menghasilkan data bahwa pada bulan Muharram angka kecelakaan meningkat, rasio kematian paling tinggi, kasus perceraian paling banyak, dsb. Apakah dengan menghindari bulan ini dari melakukan aktifitas tertentu lantas dijamin bebas dari masalah? Tentu tidak jawabannya, sekali lagi semua tergantung dari usahanya dan taufiq dari Allah Ta’ala, bukan waktu naas atau mujurnya.

Kita kan Masyarakat Jawa?!
Manakala dipaparkan keterangan di atas, barangkali akan ada sebagian kalangan yang berdalih, “Walaupun beragama Islam, namun kita kan tinggal di tanah Jawa, jadi tidak etis jika kita tidak mengikuti atau menghormati adat istiadat masyarakat Jawa!.”
Jawabannya: Allah telah memerintahkan dalam al-Qur’an agar kita bertotalitas dalam berislam. Kata Allah (yang artinya): “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok(akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”.
(QS. Al-Hasyr:18).
Wallahu ‘alam...

Referensi:
Buletin Jum’at al-Hikmah Edisi 23 Tahun I, November 2012, Ust. Abdullah Zaen, Lc. MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar